Selasa, 31 Desember 2013

Ingin berterima kasih, tapi rasanya tak pantas. Ingin meminta lebih, apalagi. Maaf, ya, Allah. Maaf.

Jangan pergi lagi.

Selasa, 05 November 2013

I've Got A Friend in Him


I just had to call him once, and he came out of nowhere. Cuma buat sekadar memastikan gue baik-baik aja. Cuma buat nemenin gue ke Gramedia, have a drink, dan makan es krim. Cuma buat mengembalikan mood gue yang..... nggak tau kabur ke mana sejak kemarin malam. Padahal, bisa aja dia cuma dengerin sampahan gue via chatting. Padahal, dia pasti capek abis seharian keluar. But he came.

Makasih banyak, Haryo Pangestu. You did remind me of someone who would probably do the same, if only he were here.

When you're down and troubled and you need a helping hand
and nothing, whoa, nothing is going right.
Close your eyes and think of me and soon I will be there to brighten up even your darkest nights.

You just call out my name, and you know where ever I am
I'll come running to see you again.
Winter, spring, summer, or fall, all you have to do is call and I'll be there, yeah, yeah,
you've got a friend.
If the sky above you should turn dark and full of clouds
and that old north wind should begin to blow,
keep your head together and call my name out loud.
Soon I will be knocking upon your door.
You just call out my name, and you know where ever I am
I'll come running to see you again.
Winter, spring, summer, or fall, all you have to do is call and I'll be there.

Hey, ain't it good to know that you've got a friend? People can be so cold.
They'll hurt you and desert you. Well, they'll take your soul if you let them,
oh yeah, but don't you let them.
 
You just call out my name, and you know where ever I am
I'll come running to see you again.
Winter, spring, summer, or fall, all you have to do is call, Lord, I'll be there, yeah, yeah,
you've got a friend. You've got a friend.
Ain't it good to know you've got a friend. Ain't it good to know you've got a friend.
Oh, yeah, yeah, you've got a friend.
(McFly - You've Got A Friend)

Shoot, I almost let myself cry.

I Hate

Saya lupa kapan terakhir kali merasakan hal seperti ini. Rasanya seperti..... ingin menangis. Tapi tidak bisa. Kenapa ingin menangis? Pun, tidak tau. Hanya saja, belakangan tubuh menolak melakukan hal yang otak perintah.

Di saat begini, cuma butuh ada yang menemani. Dan biasanya, Haryo Pangestu--orang itu--tidak pernah absen. Tapi, ya, toh sekarang orangnya sedang berkeliling Jakarta.

And here comes Adnil, untuk yang kesekian kalinya hari ini menge-chat, "Cen, kangen."

Untuk yang ketiga kalinya, mungkin, dan selalu saya tanggapi sedewasa mungkin.

Adnil, I won't let you know that I, here, need you even more. I miss you even more, too.

Mereka bilang perbedaan antara orang introvert dan extrovert itu terletak di bagian dari mana mereka mendapatkan energi untuk hidup--bukan pendiam atau ekspresif seperti yang kebanyakan orang tau, itu tendensi. Seorang introvert mendapatkan energi dari dalam--jadi, selama ia belum mati, ia dapat hidup. Meanwhile, seorang extrovert hidup dengan mendapatkan energi dari sekitar. No other people equals to death. It's their existences, smiles, laughter, even mess they create, that keeps you alive.

And sometimes, I hate the fact that I am an extrovert. I hate the fact that I need people, to keep me alive.

Sabtu, 02 November 2013

If There's Such Thing As...

Ada.... Yang lucu.

Setelah sembahyang dzuhurku, aku menyempatkan diri untuk tadarus sejenak. Hal ini termasuk jarang kulakukan karena biasanya, jadwalku untuk membaca Al-Qur'an sangklek di waktu subuh/dhuha dan selepas maghrib/isya.

Alasanku sederhana. Aku gelisah, memikirkanmu. Dan Al-Qur'an selalu menjadi satu-satunya obat penenangku. Karena aku lupa membawa pulang Al-Qur'an kesayanganku ke rumah, aku pun meminjam milik mama. Aku putuskan untuk membuka random halamannya, lalu terbukalah lembaran surat Asy-Syura. Detik berikutnya, aku takjub dengan Ayat pertama yang kubaca. 

"(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri..." [QS. 42:11]

Dan gelisahku pun hilang, seiring sesimpul senyum yang terkembang. If there is such thing as coincidence. 

Rencana-Mu yang terindah, bukankah begitu?

Senin, 21 Oktober 2013

Hingga Nanti

Ada yang menggelitik, hingga tak tahan rasanya ingin menimpali.


Mungkin itu yang akan kulakukan setiap hari, andai... Ya, andai..
Andai jarak kamarmu dan kamarku hanya beberapa langkah.

Ah, tak usahlah jarak kamar.

Andai, ya, andai tempatmu dan tempatku menuntut ilmu di bawah naungan nama yang sama.

Ah, tak usahlah bawa perihal almamater.

Andai, ya, andai tanah tempatmu dan tempatku berpijak berada di bawah langit kota yang sama.

--

Kita tak ubahnya mereka dahulu, bukan? Yang menjadi pembeda, jarak--terlampau jauh untuk kutempuh setiap hari pulang pergi menemuimu. Dan, waktu--tak pernah sesulit ini menemukannya hanya untuk sekadar mendengar suaramu. Lalu tenggelam menceritakan segala hal, berjam-jam. Tertawa. Menangis. Diam. Dan kembali mengenal rasa itu--like, you're home.
Pada akhirnya, yang dapat kau lakukan hanya sebatas kembali memandangi percakapan masa lalu di layar ponsel. Lagi dan lagi.

Ah, janji kita dahulu, ini tak kan lama.

Hanya perlu bersabar sedikit lebih lama,

hingga nanti aku bisa kembali memelukmu di kala kau tidur.



It's a full moon tonight, Sun. Hope you're ok right there. Take care! :-)

Rabu, 04 September 2013

Mudah

"Kamu tuh mudah banget, ya, mendoakan orang lain."


"Habis, ke siapa lagi kita bisa meminta kebahagiaan orang yang membuat kita bahagia, kecuali ke Tuhan?"

Kamis, 22 Agustus 2013

A Very Happy Mimil's Day!

Postingan pertama setelah sekian lama.

Terlalu banyak yang ingin ditulis, tapi untuk malam ini... I bet I know what to write first.

Bukan rahasia kalau saya yang dulu super manja, super lengket, super ketergantungan sama yang namanya sahabat, semenjak kuliah jadi lebih suka ke mana-mana sendiri. I grow, like other humans do. Dalam hal ini, saya jadi tiba-tiba menemukan kenyamanan dalam kesendirian. Bukan kenyamanan, tapi lebih seperti... what to care about? Jangan bayangkan saya menjadi sosok yang suka menyendiri di pojok menjauhi keramaian, bukan seperti itu. Hanya saja, saya menjadi lebih tidak terikat. Ke mana pun kaki membawa badan saya pergi, saya suka. I enjoy myself interacting with people whom these feet take me to. Saya suka merasa dekat dengan semua orang tanpa merasa terikat. Kurang lebih begitu.

Saya yang seperti itu kemudian bertemu dengan seseorang yang sama dengan saya. Seseorang yang sudah jauh lebih lama menjadi diri seperti saya sekarang. Namanya Dwinia Emil.

Saya nggak tau apa yang akan terjadi ke depannya, tapi rasanya saya akan kembali jadi diri saya yang dulu, deh. Padahal dipikir-pikir Mimil itu dingin, dan selalu terlihat menjaga jarak. Entah apa yang kemudian membuat kami jadi cukup sering jalan bersama, atau sekedar memberi semangat lewat pesan singkat, atau ujung-ujungnya mendaftarkan diri kami di semua kelas yang sama (niatnya begitu, tapi akhirnya Birpend yang berkehendak). Dan sekarang, 40 menit lagi, Mimil akan menginjak usia kepala dua.

Doa Hacn untuk Mimil,

Semoga Mimil selalu ada dalam lindungan Allah dunia akhirat. Dibimbing selalu langkahnya, dimudahkan segala urusannya, dilancarkan kegiatan-kegiatannya. Semoga cita-cita Mimil yang jadi news anchor berita ekonomi cem yang di Met*ro TV itu terwujud, atau bahkan bisa lebih-lebih lagi! Semoga selalu jadi Mimil yang bisa dibanggakan, yang meskipun nyampah tapi berharga banget buat Hacn. Yang meskipun polos banget bahkan ketika ngatain orang, tapi disayang banget sama Hacn. Yang sweetness-nya effortless, nggak sengaja dibuat-buat sweet tapi beneran sweet. Ya, semoga makin sweet ya sama Hacn!

Pesan Hacn untuk Mimil,

Do what you think is right, be with everyone you're comfort with. Never lie to yourself. Mimil bebas jadi diri Mimil sendiri di depan Hacn, I love you for whoever you are!

Makasih untuk semuanya ya, Mimil! Never thought I would find you, one I should be way so grateful about. 

Sabtu, 20 Juli 2013

Tapi Aku

Terkadang Tuhan tersenyum pada kita dengan cara yang tidak pernah terpikirkan ada.

Lantunan ayat-ayat-Nya bersahut-sahutan di tengah gelap malam yang menjelang pagi. Ada rindu yang menyeruak. Ada memori yang muncul silih berganti. Kemudian, kuingat betapa dekatnya Kami dulu. Kudapati diriku sudah sebesar ini, dengan seribu 'sejak terakhir kali...'

Baru semalam aku merisaukan sesuatu yang tak patut dirisaukan, sesuatu yang menjadi urusan-Nya. Kini, kembali kuingat betapa cinta-Nya padaku dahulu, mampu membuatku merasa lebih dari cukup. Bukan cinta-Nya yang tidak sebesar dulu, tetapi kapasitas imanku yang kini terlampau kecil untuk menerimanya.

Aku serahkan hidupku, pada-Mu. Hidup, dan matiku.

Jumat, 12 Juli 2013

Kala Kuingat

Ini cerita antara aku dan kamu saja. Tadi, tepat di rakaat terakhir sembahyang maghrib-ku, sekejap terlintas sesuatu.

Seseorang menggandeng tanganku dari satu sudut ke sudut lain yang tampak familiar. Kulitnya putih bersih, matanya bulat jernih, hidungnya mancung, dan bibirnya merah kejambu-jambuan (bukan karena lipstik ataupun kepedasan, tetapi memang begitulah adanya). Wajahnya seakan menyiratkan dirinya memiliki moyang dari Timur Tengah, meski nyatanya darah Minang dan Sunda-lah yang mengalir dalam dirinya. Yang paling khas dari dia adalah rambutnya yang keriting dan besar. Mereka menyebutnya, kribo. Dari sanalah asal salah dua sebutan dirinya, "kribo" dan "ibo". Yang spesial, karena rambutnya yang tidak pernah bisa memanjang ke bawah itulah, ia menyabet gelar terganteng satu angkatan. Namun, jangan salah membedakan ketika ia mulai mengenakan hijab. Biar kubisikkan, cantiknya bukan main!

Ia sedang tidak memakai hijab kala aku mengingatnya. Yang ia pakai hanyalah potongan klasik seragam putih abu-abu--kemejanya berlengan pendek, pun roknya pendek sebetis, dipakai tepat di garis pinggang. Tangan kirinya menggenggam tangan kananku, hal yang rutin kami lakukan tiap kali berjalan di luar kelas. Berjalan dari satu sudut ke sudut lain yang kemudian kuingat sebagai memori akan SMA-ku.

Rasanya aman dan damai kala aku mengingatnya. Yang bisa kudeskripsikan sebagai kebahagiaan ketika kini tidak lagi kumiliki. Kebahagiaan yang sederhana; berjalan bersama sahabat yang kamu cinta.

Untuk dirinyalah mengalir semua doaku dahulu. Kebahagiaan, kemudahan, bimbingan, kebebasan dari jerat derita, kekuatan, keberanian, lindungan. Karenanya lah aku tidak pernah lelah meminta kepada Yang Maha Memberi. Karenanya lah aku ketakutan ketika sedikit saja berjauhan dengan Yang Maha Mengasihi.

Kini ia tidak lagi menemani langkahku, tidak lagi menggenggam tanganku.

Rasanya air mataku mengalir kala aku mengingatnya. Dan kembali kuminta dalam doaku, Tuhan, izinkan kenanganku akannya mengembalikanku lagi pada-Mu.



Minggu, 07 Juli 2013

"If you could do magic, what part of this Nation will you change?"

Well, Dinar. I don't really think I have a proper answer for this question.

Negara ini tidak pernah ditakdirkan miskin, satu hal yang saya percaya. Namun, ada frase yang hilang. Biasanya kalimat tersebut diikuti "...tetapi berada di tangan yang salah."

Hei, dulu saya salah satu orang yang meyakini mati kalimat tersebut. Pikiran dan hati saya menggebu-gebu ketika memikirkan negeri ini, membayangkan how great this nation is gonna be ketika generasi saya--kita--memimpin. Saya begitu merasa percaya diri, seolah-olah tangan saya bukanlah satu dari 'tangan yang salah' tersebut. Kemudian...

Saya mulai bertemu orang-orang hebat. Akademisi. Politisi. Pengusaha. Menteri. And know what? Saya mulai berpikir dua kali. Mereka orang yang hebat, benar-benar hebat. Mereka pintar, kritis, visioner, tulus, lontarkan saja semua pujian. Lalu, bagaimana mungkin negeri ini masih seperti ini di tangan mereka? Di tangan orang yang, setelah saya temui, saya yakini bukan tangan yang salah.

Naif sekali, pikir saya, jika saya pikir tangan saya lebih 'benar' daripada mereka. Ada ungkapan lain yang bilang, "Semua orang pintar di Indonesia sudah dan akan pergi. Jika Anda masih tinggal karena merasa dapat merubah negeri ini, maka Anda adalah orang yang naif." Dulu saya mati-matian menentangnya. Dan kini, semakin banyak tahu, saya pun kembali berpikir dua kali.

Apakah saya orang yang naif? Untuk berpikir tangan saya mampu memangku 240 juta penduduk dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote? Untuk memimpikan diri saya bertahan di negeri ini, dengan harapan membawanya ke arah yang lebih baik? Saya yang dulu akan menjawab, tidak, saya bukan orang yang naif. Berpikir seperti itu bukanlah hal yang naif.

Saya yang sekarang akan menjawab, ya, saya orang yang naif, tetapi saya tidak peduli.

Saya yang dulu hanyalah bocah yang terbuai mimpi, yang polos, yang tidak tahu apa-apa. Sekarang, bukannya saya tahu segala hal, hanya saja saya mulai dapat melihat dan merasakan apa itu keputusasaan yang dibawa sesuatu bernama realita. Saya sempat ingin menyerah dan mencoba realistis, ayolah buka mata! Merubah negeri ini bukan hal yang mudah. Hingga salah satu sahabat saya berkata,

"Dihadapkan dengan yang seperti ini, bukannya sudah banyak yang menyerah? Kalau menyerah sekarang, apa bedanya kamu dengan mereka?"

Saya pun mulai hilang arah dan mencari kembali diri saya yang dulu, si bocah penuh harapan. Dan, tara! Saya menemukan ini, beberapa bait dari pidato saya di kelas Bahasa semasa kelas 3 SMA dulu.

"...Bayangkan hal ini terjadi pada beribu-ribu keluarga lain. Warga komplain, pemerintah tidak menanggapi, warga kehilangan kepercayaannya, warga apatis. Bukannya siklusnya akan seperti itu? Di saat yang sama, warga lain turut menyalahkan pemerintah. Entah mengenai reshuffle kabinet, pembebasan walikota Bekasi dari jerat korupsi, kerusuhan Freeport, ataupun berbagai kasus lainnya. Alih-alih pemerintah sadar atas kicauan warganya, dengan santai mereka membalik keadaan dengan melontarkan kalimat bijak JFK, 'Don't ask what your country can do for you. But ask what you can do for your country.' Pada akhirnya, siapa yang patut dipersalahkan? Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, tentu karena pertanyaannya saja sudah salah.

Bangsa ini baru akan kokoh apabila para pemimpinnya mulai memberi dan berhenti meminta pamrih, sementara rakyatnya berhenti menyalahkan dan mulai berkontribusi.


Pertanyaan yang sebenarnya, kapan kita mau memulai?"

Saya melupakan diri saya yang pernah menulis demikian. Saya melupakan problema mayor di Indonesia yang ditemukan oleh diri saya yang penuh harapan dan optimisme. Diri yang jauh berbeda dengan saya yang sudah cukup menelan realita pahit.

Sekarang saya tahu kondisinya. And I don't wanna lose my faith. I choose to live my old dream, meskipun hal tersebut akan membuat saya terlihat naif.  
And I'll definitely make it real.
Tidak, saya tidak merasa memiliki tangan yang 'benar'. I will just simply struggle to have one, that's worth a try, isn't it? Ya, saya naif karena tidak pernah sekalipun terpikir di benak untuk tinggal di tanah orang lain. Tapi saya adalah orang yang akan membuat mereka yang telah pergi merasa lebih naif, karena apa yang mereka harap akan dapat di luar sana tidak akan lebih besar dari apa yang akan mereka dapat apabila tinggal. Merasa naif untuk mencari keluar sesuatu yang sebenarnya negeri ini dapat beri lebih.

I'm currently facing the real world.
I have once lost hope.
I have once given it up.
But I believe, this should be right.
To gather new hopes,
And make it happen.
I'm not afraid anymore.

--

 

Harapan.

That's my answer, Din.

"Apa Kabar?"

Kamu, tujuh-tahun-mendatangku,
Ah, lama, ya, tak bincang lewat kata. Kabar baikkah?
Ya, tertawa saja jika kutanya kabar. Tak apa pula, bukan, jika kini tak tahu-menahu kabar? Toh, romantis bukan bisikkan kabar tiap saat, cukup saling pinta dalam diam agar dijadikan satu saat siap nanti. Namun, tetap saja terus kuharap primamu di setiap waktu. Baik-baik, kumohon.

Kamu, yang ternyata-mungkin-lebih-atau-bahkan-kurang-dari-tujuh-tahun-mendatangku,
Bagaimana kau lewati harimu? Bagaimana usaha gapai (aku yang) masa depanmu? Berat, ya? Tak pernah ada yang katakan itu akan mudah jika perihal yang mendatang. Namun, ingat, yang mendatang menanti. Jangan pernah nikmati tiap jatuhmu. Terus berjuang, kumohon.
Bayangan tentang yang mendatang jadikan saja semangatmu.
Miliki selalu pelukan di tengah hingar bingar perseteruan isi pikiran.
Miliki selalu genggam yang menguatkan, bukan melepaskan.
Miliki selalu hati yang mengerti, tidak memaksakan.
Miliki selalu dekap yang tak pernah membiarkan, tapi mengiringi sampai tujuan.
Pun ingat, miliki selalu senyum yang menjadi hangat sekaligus sejuk.
Saling memenangkan. Saling menyelamatkan.
Masa yang menyenangkan. Masa yang menenangkan. (Amien)

.....
Maaf, tadi kau bergumam apa? Aku sendiri bagaimana?
Pun di sini sama: tak mudah. Namun, entah, manjakan lelah juga jenuhku tak pernah lebih menggiurkan dari perjuangkan masa depanku (yang ada kamu).
Kerahkan seluruh kemampuan 'tuk cipta kemampuan yang lebih pantas.
Biarkan dulu saja lah aku. Semuanya untukmu, tahukah?
Murni bukan untukku berbangga, melainkan untukmu berbangga, setelah orangtuaku. Karena sungguhlah, kemampuan sebenarnya bukan ajang perempuan (sepertiku) untuk menyombongkan diri, tapi 'tuk menggandeng tangan laki-laki(ku) agar tak kerepotan sendiri. Karena masa depan sudah tentang dua orang, bukan?
Mengerti, ya, kumohon.
“The woman is the reflection of her man.” — Brad Pitt
Bacanya buatku malu (dan tidak pantas). Entah, kamu yang (semoga) baik akhlak, hati, juga imannya, akan dikatakan apa jika berdamping aku? Bahkan aku akan bingung setengah mati jika Tuhan tetap pilihkan aku untukmu.
Akhlakku masih jauh dari sempurna, lalu bagaimana bisa aku dipilih Tuhan 'tuk jadi pendampingmu?
Bacaanku masih fiksi kacangan dan bukan Al-Qur'an, lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi tuntunan bagi anak-anakmu?
Tubuhku masih belum terjaga sempurna, lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi rumah yang aman bagimu?
Hatiku masih penuh dengan iri pula angkuh, lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi penyejuk hatimu?
Tanganku masih malas bantu sesama, lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi tangan kananmu bangun rumah tangga?
Telingaku masih suka dengar yang jahat, lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi pendengarmu yang baik?
Lisanku masih suka banyak bicara pula berkata tak layak, lalu bagaimana mungkin aku pantas menjadi pelipur laramu?
Masih jauh perjalananku agar pantas menjadi pendampingmu. Bersabarlah, kumohon.
Mari anggap ini menyenangkan, menunggu janji-Nya yang tak pernah ingkar, dalam usaha menjadi ikhlas dan taat.
Aku hanya harap, semoga kita ada dalam satu ego nanti: ingin saling memiliki, selamanya.

Sungguhlah, bukan aku diam, Dia tahu betapa aku selalu ribut dan berisik memintamu dalam sujud panjang di akhir rakaat.
Pun bukan aku diam, hanya saja takdir masih menuntut kita 'tuk berjalan lebih lama.

Kau pun tahu, menemukan hanyalah perihal waktu.
Namun, keyakinan justru yang nyatanya bukan perkara waktu. Keyakinan bahwa masing-masing adalah yang terbaik untuk masing-masing.
Karena pada akhirnya hidup memang hanya perihal mencari jalan terbaik menuju mati, juga yang terbaik sebelum mati.
Sekarang kutanya, apa yang ingin kau capai dalam hidup?
.....
.....
Kalau aku, jadi yang kau gapai sebelum mati. :)

Sekian dulu, sudah larut. Selamat tidur, Tuan.
Aku akan sedia di sisi ragamu suatu masa, setiap lelapmu, pun terjagamu.
Dan jadilah satu yang kubangunkan Subuh-nya, lalu jadi Imamku, selamanya...

Tertanda, Rumahmu.
 
Beaytifully Odd, Apa Kabar?. http://ayagz.blogspot.com/2013/06/apa-kabar.html. Diakses pada tanggal 7 Juli 2013, Pukul 19.24.

Kamis, 04 Juli 2013

Mati

Di saat saya sedang ingin ini itu.

Milyaran sel dalam otak sibuk mengkalkulasi cara tercepat yang dapat ditempuh.


Di saat mata dibutakan duniawi, hati jauh dari Sang Khalik.

Cepat kulaksanakan sembahyang, lisan tak sedia lantunkan ayat Qur'an.


Di saat hidup sedang datang tanpa makna.

Buang apa yang kausebut tujuan, mimpi, visi, cita-cita.


--

Di saat yang sama, jerit isak menyeruak. Kupertajam dengar untuk mencari tau alasan lengkingan-lengkingan tersebut. Katanya ada yang meninggal.

Coba gerakkan kakiku yang terlanjur kaku. Bukan saja kaki, tapi raga. Ragaku menolak untuk bergerak. Terpana kulihat pemandangan di depan mata: seorang wanita baya tergopoh-gopoh datang berlinang air mata, berteriak menghampiri wanita muda yang begitu dengar membalas dengan jeritan pula. Keduanya kemudian berlari, menghilang dari jangkauan mata, menangis.

Wanita baya itu saudari nenekku, sementara wanita muda yang dijemputnya adalah menantunya. Keduanya menangis karena menantu wanita baya yang lain, istri dari ipar si wanita muda, berpulang ke sisi Yang Maha Kuasa. Keduanya tinggal bersama keluarga besar mereka di samping rumah nenek, yang tidak berapa lama kemudian memperdengarkan jerit yang berbeda. Jerit yang lebih menyayat; jerit anak-anak yang kehilangan ibunya.

Namanya Teh Emi. Ya, meski seharusnya aku memanggilnya bibi, aku lebih suka memanggilnya demikian. Ia seorang ibu muda dari lima anak yang tangguh. Ia banting tulang, mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan untuk membantu suami menghidupi keluarga mereka. Seorang wanita yang ramah, namun tegas. Sosok yang mampu mendidik anak. Ketika ia menawarkan barang jualan ke rumah-rumah, ia bawa dua anaknya yang paling kecil. Yang satu dalam gendongan, yang satu ia tuntun ketika berjalan. Beda usia keduanya tidak begitu jauh. Aku tidak begitu ingat siapa saja anak-anaknya. Hanya yang paling besar yang paling kukenal, karena dulu adikku sering bermain dengannya. Kubayangkan jerit tadi keluar dari lima anaknya yang masih kecil, yang tertua saja SD belum rampung.

"Sekarang abang nggak punya ibu."

Kudengar nenek bercerita mengenai isak Naufal, yang biasa dipanggil Abang, anak lelaki Teh Emi yang tertua. Nenek menjawab Abang dengan halus, "Nabi Adam saja tidak punya ibu."

Anaknya yang tertua kedua (atau ketiga), Syamil, menjerit-jerit meminta jenazah sang ibu diantar dari Depok untuk dimandikan dan dikuburkan di kampungnya. Teh Emi yang syarafnya terjepit dirawat di Depok berminggu-minggu, tak sadarkan diri. Aku pun baru mengetahui hal tersebut kemarin, itupun sekilas dan hanya tahu sebatas beliau dirawat, tanpa tahu apa penyakitnya dan bagaimana keadaannya. Sungguh kukira hanya penyakit biasa, karenanya kuanggap berita tersebut angin lalu.

Teh Emi masih mengunjungi rumah nenek saat lebaran tahun lalu, masih terlihat begitu sehat dan bersemangat. Aku masih tidak percaya beliau tidak akan datang lagi di lebaran mendatang. Miris kubayangkan lima anaknya datang tanpa ibu mereka, memakan ketupat dan daging yang meskipun menjadi makanan mewah bagi mereka, mungkin akan terasa hambar. Sedih kubayangkan mereka menyuap sendiri makanan mereka, dan bisa jadi bergantian menyuapi adiknya yang paling kecil. Kepergian Teh Emi menggenapi kepergian orang kepercayaan nenek sejak dulu, Matisah, yang telah lebih dahulu pergi di tahun ini. Matisah sudah bekerja untuk nenek bahkan sebelum aku lahir, dan aku menghormati dan menyayanginya seperti nenekku sendiri. Kepergiannya yang lalu masih menyisakan perih yang sama sepanjang aku mengingatnya.

Di lebaran berikutnya, mereka berdua tidak akan datang.

Rasanya begitu cepat, namun nyata. Aku adalah salah satu dari mereka yang tidak pernah merasakan kepergian orang terdekat sejak aku dapat mengingat. Kini hatiku dipenuhi rasa takut, apa jadinya aku bila suatu saat hal ini terjadi dalam lingkaranku? Satu per satu akan pergi, that's obvious, that's only a matter of time. Tapi, siapa yang akan mendahului siapa? Aku terlalu takut untuk membayangkan. Masih banyak yang dapat terjadi hingga lebaran mendatang, dan lebaran berikutnya, lalu berikutnya lagi. Aku hanya bisa berharap kami dapat merayakannya dengan lengkap.

Kematian, dan apa yang akan terjadi setelah itu, meski sudah jelas diungkapkan dalam Al-Qur'an, tetap masih misteri bagiku. Berbahagialah Teh Emi dan mereka yang beruntung mendapat kemuliaan meninggal di hari Jum'at; kematian yang didambakan seluruh umat Nabi Muhammad.

Kini aku kembali diingatkan tujuanku dihidupkan di dunia. Untuk mati, ya, aku hidup untuk mati. Namun, apa yang kita dapat ketika mati, bergantung pada apa yang kita beri di dunia.

Rasanya kembali pula aku diingatkan cara bersyukur. Untuk apa harta kekayaan, gadget canggih, mobil dan rumah mewah, pakaian mahal, bila tak mampu cukupkan bekal untuk nanti mati?

I just want to give more,
To love more,
To cherish more,
To struggle more,
To hope more,
To do more,
To live every second of my life, meaningfully.
To not give up even a single little thing.

Terima kasih, Teh Emi, atas segala yang kau berikan selama hidup. Dan atas pelajaran berharga yang kau tinggalkan, bahkan ketika pergi. Semoga segala kebaikan dan amal ibadahmu diterima di sisi-Nya. Tenang, ya, di sana.

Jumat, 28 Juni 2013

Listen

Dear Allah, would You listen to this little selfish dream?

I want to make a better living for everyone. I don't want to see anyone living in this country suffering. I want to do something, anything.


Let me do, will You? Show me the way.


I love You.

Rabu, 19 Juni 2013

Pernahkah?

"Pernahkah kau merasakan ini? Ketika hal sesederhana hujan, turun. Atau, ketika lagu cinta mengalun tak sengaja, menggelitik alam bawah sadarmu. Membawamu pada satu bayang wajah, lalu, kau bertanya pada kalbu, 'mengapa wajahnya?' ........Kau yang tak mendengar, atau memang tidak pernah ada jawaban? Kau bahkan tidak bisa deskripsikan rasanya. Kau hanya menikmatinya bagai semilir angin senja. Elusan hangatnya di kulitmu seringkali seakan berbisik, 'Terus berjalan, jangan berhenti melangkah.'  Namun, beberapa kali dingin. Ah, ya, rindu yang dingin--rindu yang buatmu ingin sesekali egois. Dan yang lebih aneh, detik kemudian kau merasa lega. Karena dia berada di tempatnya, karena setidaknya, ia terlihat baik-baik saja. Karena kau yakin Tuhan menjaganya tetap bahagia, seperti yang kau minta dalam khidmat doa."

Selasa, 11 Juni 2013

Satu Tanya

Belajarku malam ini terdistraksi beberapa tweet.

Satu pertanyaan,


Apakah "nurani yang membuka pintu kebenaran",


atau

"sesuatu itu benar, karena nurani berkata demikian"?


Just asking.

Senin, 10 Juni 2013

Pesan Tengah Malam

Kepada yang sekarang sedang meng-kepo,

Terima kasih untuk tidak pernah lelah mendengarkan. Untuk kata-kata semangat yang tidak terucap, tapi mampu mendoktrin otak. Selamat ber-UAS-ria hari kedua! Jangan makan pir hijau lagi kalau mau selamat :-)

Seberapa Pantas, Wahai Pemimpin?

"Tidak ada seorang pun pemimpin yang merasa pantas menjadi pemimpin."


Sebuah prinsip yang saya pegang, setidaknya selama empat tahun belakangan. Alasannya? Pertama, saya dihadapkan pada kondisi kepemimpinan di Indonesia dari contoh yang paling sederhana: Pilpres. Dua tahun sebelum masa pemerintahan inkumben usai, sudah ada yang berani mendeklarasikan kesiapannya untuk maju ke bursa pencalonan. Berlomba-lomba pencitraan, di saat, beberapa dari mereka bahkan masih memegang posisi penting di lembaga pemerintahan. Dan calonnya? Itu lagi, itu lagi. Yang sudah pernah menjabat, lalu lengser, mencalonkan lagi. Yang sejak dulu gagal, pun, kembali mencalonkan diri.

Sebegitu merasa pantasnya kah mereka?

Carut-marut. Jika semua orang dalam sistem ingin menjadi pemimpin, siapa yang tersisa untuk dipimpin? Masih tentang fenomena pilpres, anggap, satu calon akhirnya terpilih menjadi presiden. Yang selalu terjadi, sejak dulu hingga sekarang, keberasilan presiden tersebut akan selalu menggiring mereka yang terkalahkan ke pencarian celah. Contoh yang paling sederhana (lagi)? Media. Seberapa sering Anda mendengar media membawa berita keberhasilan pemerintahan? Setiap detik, setiap saat, rakyat disuguhkan dengan isu yang sama. Korupsi. Kemiskinan. Ketidakmerataan pembangunan. Lalu, ketika pemerintahan gagal? Lebih-lebih lagi. Hujatan di mana-mana, dan yang "termenggelikan", kritik tidak hanya ditujukan untuk konteks kinerja. Kepribadian, pun, menjadi bahan gunjingan. Ya, media. Alat paling mudah untuk menjatuhankan pemerintahan. Apalagi, media yang paling vokal hingga saat ini, tahu sendiri, milik siapa. Jangankan pemerintah, rakyat juga gerah.

Kembali lagi dalam konteks kepemimpinan. Apabila mereka, orang-orang yang merasa pantas menjadi pemimpin itu, tulus ingin membawa negeri ini ke arah yang lebih baik, mengapa harus selalu menjadi yang kontra? Berbicara di luar kepentingan politik--jika memang pemerintah benar, mengapa tidak dibantu sebagai upaya penyempurnaan sistem? Lain hal jika memang pemerintah salah, silakan dikritik, bukan dijatuhkan. Mau tetap menjatuhkan? Boleh, asal bawa solusi.

Oke...... Sejujurnya ini sudah amat melenceng dari tujuan awal saya menulis. Intinya, ketidakpuasan saya akan negara-yang-dipimpin-oleh-mereka-yang-merasa-pantas-menjadi-pemimpin itulah, yang membentuk stigma saya mengenai pemimpin. Namun, jika semua pemimpin merasa tidak pantas menjadi pemimpin, lalu siapa yang akan menjadi pemimpin?

Hal tersebut saya temukan jawabannya ketika SMA. Seorang sahabat saya, yang memiliki kapabilitas luar biasa sebagai pemimpin, menolak untuk maju dalam pemilihan ketua suatu organisasi. Padahal, satu isi sekolah tahu jelas bahwa hanya dia satu-satunya orang yang mampu memimpin pada saat itu. Hingga akhirnya, semua orang bersuara untuknya. Satu per satu mendatanginya, bahkan memohon padanya. Kurun waktunya cukup lama sampai ia akhirnya memutuskan untuk maju. Dan, hasilnya, menang mutlak.

Dia selalu mengatakan kepada saya bahwa ia tidak pernah merasa pantas menjadi pemimpin. Meskipun, sebenarnya, sejak awal dia memiliki gambaran konsep dan nilai-nilai yang ingin ia terapkan dalam organisasi yang bersangkutan. Hanya saja, menjadi pemimpin organisasi tersebut adalah hal yang jauh dari ekspektasinya. Jauh sekali, hingga akhirnya ia disadarkan oleh sekian banyak orang yang menaruh harapan padanya, yang mempercayainya, yang membutuhkannya. Dan pada akhirnya, ia mendengarkan apa yang mereka katakan dan apa yang ada dalam hatinya. Dan jadilah ia, pemimpin terbaik yang pernah saya temukan, hingga saat ini.




Maka, jadilah pemimpin adalah seorang yang tidak pernah merasa pantas dirinya menjadi pemimpin. Hingga dia memutuskan untuk mengalahkan rasa rendah dirinya, untuk rakyat yang menaruh harap padanya.

Itulah definisi pemimpin yang teguh saya pertahankan hingga... saya dihadapkan pada realita kampus.

Kasus sahabat saya di atas, mungkin contoh satu dari seribu kasus. Di mana, jumlah pemilik hak suara cenderung lebih sedikit, dan interaksi memungkinkan mereka untuk mengenal sosok calon pemimpin lebih efektif. Tetapi bagaimana dengan kampus, lingkungan yang jauh lebih besar dan plural? Bisa jadi ada seorang yang potensial, yang sejak awal merasa dirinya tidak pantas menjadi pemimpin, akhirnya justru lebih memilih untuk diam. Sulit baginya untuk mengetahui seberapa pantas dirinya dari sudut pandang orang lain karena, kembali lagi, lingkungan yang begitu luas--suara tidak akan dapat ditampung apabila ia tidak vokal menyuarakan kesiapannya. Pada akhirnya, seorang pemimpin harus memiliki kepercayaan akan dirinya sendiri sebelum membuat orang lain percaya padanya. Kini, pandangan saya tidak lagi negatif pada mereka yang maju dalam pencalonan.

Ada satu hal yang saya percaya sampai mati: amanat tidak pernah salah memilih tuannya. Jika amanat memilihmu, maka kau memang ditakdirkan mampu. Dan saya yakin, siapapun yang maju dari hatinya, dengan niat yang tulus untuk membawa perubahan yang lebih baik, dia lah sosok pemimpin yang dicari.

Semoga Indonesia tidak pernah kehabisan generasi pemimpin yang demikian.

Jumat, 07 Juni 2013

Hanya

Hanya rasa syukur yang menjadikanmu hidup.

Percayalah.


Dan, hanya satu doa yang belum terjawab.
Hanya satu minta:

Menjadikan-Nya satu-satunya yang paling dicinta.

Melebihi apapun. 



Tidak apa, Ia tau aku pantang menyerah.

Selasa, 04 Juni 2013

Satu Tahun

Setahun lewat sudah sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di dunia yang sama sekali baru. Sejak satu per satu, termasuk saya, menaikkan jangkar kapal sendiri. Kemudian mengembangkan layar, memegang kemudi. Menjadi kapten sekaligus awak, memberanikan diri mengarungi apa yang mereka sebut... Samudera Kehidupan.

Nobody told it was gonna be easy. And it really wasn't.

Tidak terasa, setahun pun seperti sekejap mata. Kini, sahabat-sahabat saya yang baru merasakan euforia menjadi calon maba, membawa kembali kenangan-kenangan itu. Semuanya masih amat jelas, terang. Dan saya ingin mengapresiasi diri saya sendiri, yang tak dapat disangka, masih dalam keadaan baik.

Seorang Hazna, yang selangkah pun tidak dapat jauh dari malaikat-malaikatnya, yang setiap detiknya membutuhkan orang untuk bersandar, yang cengeng, manja, dan kelewat peka. Tidak pernah terbesit sekalipun untuk berkeliaran sendiri, ke mana pun mandiri, bahkan tidak lagi miliki keinginan untuk berbagi. Ya, tidak ada lagi suka duka yang dibagi.

Bukan karena tidak bisa, tetapi tidak mau.

Hei, ada yang pernah merasakan ini? Ketika Tuhan memberimu sesuatu yang....... kau pikir, tidak pernah benar-benar ada. Dan andai pun ada, kau jadi bertanya-tanya, pernahkah diri melakukan sesuatu yang luar biasa baik? Sehingga Tuhan memilihmu untuk memilikinya? Dan ketika, Ia mengambilnya kembali. Tidak, tidak selamanya. Hanya sementara. Tetapi egomu, membutakan mata hatimu dari rasa syukur. Sejauh yang kau pandang hanya kehampaan. Semakin kau mencari, semakin kau hampa. Semakin kebahagiaan mendekat, semakin kau tolak mentah-mentah. Karena, sederhana, kau pikir kebahagiaan sejati hanya ketika mereka kau miliki.

And it's not bad memories hurt, good ones do.


*taken when Tiara was in US*

Mereka, kesempurnaan dari keluarga yang sudah saya miliki sejak lahir. A home.


Hei, mau tau hal paling luar biasa apa yang dapat dimiliki seorang manusia? Hati yang mencinta. Hati yang selalu ingin membuat yang dicinta bahagia.

Hei, mau tau sesuatu?

Saya mendapatkannya kembali, akhirnya. Hati yang dulu diperuntukkan untuk mereka, kini menambah kapasitasnya untuk orang-orang yang semula asing.

Selasa, 28 Mei 2013

28

Jadi, ini yang mereka bilang, bumi seakan kehilangan gaya gravitasi?
Ketika kau jelas-jelas berpijak, namun tubuh serasa tak ada yang menopang
Dan pikiranmu, seketika kosong
Tak tahu arah, tak tahu ke mana harus melangkah
Semua terlihat salah
Langkahmu
Tatapanmu
Senyummu
Tak satupun dari itu benar, melakukan hal yang otak perintah
Tampak hati mengambil kendali tubuhmu
Merampas logikamu
Yang kau tahu, kau hanya ingin melihatnya
Sekali lagi saja
Lalu sudah
Ya, sudah lebih dari cukup

28.
Selalu membawa kejutan.
Tetapi, yang ini tidak lucu.
Tapi terima kasih.
Terima kasih sudah mengingatkan, diri ini masih banyak yang perlu diperbaiki.

Dan, 28.
Selamat, Tiara Rachmaniar!
Selamat datang di kampus perjuangan.

Kamis, 23 Mei 2013

Andai

Antipati.

Andai mereka manusia tanpa kekurangan.
Andai kekecewaan ini dapat ditelan
Andai memori dapat dihilangkan
Andai luka tak lagi perlu dipandang

Hanya berandai
Hanya bertanya
Siapa yang benar-benar dipunya?

Selasa, 14 Mei 2013

Selamat Ulang Tahun, Fakhri!

Sahabat,

Meski terlampau terlambat, 'maaf' ini masih bisa diterima, kan? Better late than never, I failed to reach you yesterday. I really do apologize :(

Selamat ulang tahun, Fakhri Kurniawan!


Semoga segala yang terbaik selalu mengiringi langkah-langkahmu. Dilancarkan segala urusannya, dilindungi selalu dalam pangkuan-Nya, dijaga lisan dan perbuatannya. Semoga ke mana pun Fakhri pergi selalu dibawa ke tempat terbaik dan dikelilingi orang-orang terbaik! Makin dewasa, shaleh, ganteng, pintar, bertanggungjawab, bijak, dan segala yang baik-baik semoga bertambah dalam diri Fakhri. Sukses untuk kuliahnya, organisasinya, kepanitiaannya, segala-galanya. Semoga selalu menjadi anak kebanggaan orang tua, sahabat yang disayang, dan teladan untuk sekitarnya.

Dan semoga, apapun yang terjadi, Fakhri nggak pernah lupa sama impian dan cita-cita Fakhri. Dan semoga, Allah meridhoi semua itu. Jangan menyerah sampai semuanya terwujud! Pertahankan idealismenya!

Jalan masih panjang, Ri. Dan meski jalan kita sekarang misah, selama tujuan kita satu, sure we will gather again, all of us. Give the toughest effort for Batik Foundation 2032 ya, Pak Waketang!



Sahabat seperjuanganmu,

Hazna.

Senin, 06 Mei 2013

Rabu, 01 Mei 2013

All I Need

"You have a brilliant mind Cen, and that's the only thing you need to achieve anything in this world."

Ah. I still need one more thing, tho. One like you, Cal.

When you dream alone, it will just remain as a dream. But when you dream together, you are making it real, right? You sure have a much more brilliant one. :-)

Then, there you are! With others, convincing me that it is not just a dream.

Malam ini, sekali lagi dibuat tersenyum oleh mimpi-mimpi itu. Dan Tiara Rachmaniar.

"Let us be the change this country would like to see in the future. And, it is us against the world."

Selasa, 30 April 2013

Huvt Post


Praises be to Allah.



It all ends here...






Thank you, Kak Tal, Kak Kelv! :")








Yet starts here...


PI KOMPeK 15 & 16

Terlalu-banyak-kenangan. How I hate farewell. Entahlah, suasana hati sedang tidak menentu giduh deh. Cepat kembali bersemangat ya, Hazna!

Senin, 29 April 2013

Sama


Makasih loh lagi capek-capeknya dibikin semangat lagi. Dan terima kasih sudah dikhususkan. Aku juga rindu. Sampai bertemu lagi di persimpangan jalan!

Minggu, 28 April 2013

Sesal

"Jadi, yang kau takutkan adalah?"

"Ia jatuh."

"Dan kau tidak?"

"Ya."

"Lalu, apa yang ia sesalkan?"

--

Ah, ya. Seperti halnya aku yang tidak pernah menyesal. Terima kasih. Sampai bertemu kembali!
"Jangan pernah merasa hidup di negara yang merdeka ketika rakyatnya masih menjerit kelaparan.

Bangsa ini tidak pernah ditakdirkan miskin."

Dan raguku pun, hilang.

Kamis, 25 April 2013

Selamat Ulang Tahun, Bras!

Meski jauh, dan meski tidak lagi sehangat dulu,

Once a best friend, forever a best friend, right?

Selamat ulang tahun untuk yang selalu menghibur di kala lara, untuk si pencipta tawa. Untuk yang selalu mengingatkan, bahwa kita bisa ketika kita percaya. Untuk yang selalu membesarkan hati, karena miliki hati yang jauh lebih besar.


Selamat ulang tahun,

Rahmanda Nofal Arif!

Sabtu, 20 April 2013

Go-Fight-Win, Rafif!

Hari ini, kabar baik kembali menghampiri.

Rafif Muhammad lolos seleksi untuk mewakili Indonesia di Asia-Pacific Moot Court Competition. He will be going to Tokyo, Japan, by the end of May as the youngest delegate from Indonesia. FYI, his team is the only one that will be sent to the competition since it has beaten other dozens coming from many universities throughout Indonesia. Dan Rafif adalah satu-satunya mahasiswa baru di dalamnya.

Mendengarnya, gue merinding. Hampir nangis malahan, saking senang dan terharunya. Tapi bersamaan dengan itu, rasanya kayak ditampar bolak-balik. Gimana nggak?

Gue pertama kali kenal Rafif dulu di OSIS, tapi memang kita tergolong jaraaang banget ngobrol. Kasusnya nggak jauh beda lah sama Adnil. Naik ke kelas dua, gue dan dia sama-sama resign dari OSIS. Gue memutuskan buat fokus ngurus Halim 77, ekstrakurikuler gue saat itu. Rafif kemudian join jadi panitia salah satu proker ekskul gue, OASIS IV, pentas seni SMA 1 Bekasi tahun 2011. He is the trusted one, gue banyak banget minta bantuan dia (lebih tepatnya asal tarik) buat jadi koordinator salah satu tim pencari sponsor. Gue termasuk sangat mempercayai dia, karena dia memang sebagus itu. Lepas dari OASIS, tepatnya di awal kelas dua belas, gue dan dia diminta sekolah untuk ikut lomba debat di Kementerian Perdagangan. Kami pun kemudian ditempatkan di satu tim, dan pencarian third speaker pun dimulai....... Awalnya Adnil sempat gabung, tapi baru beberapa hari, Adnil mengundurkan diri. Katanya, lombanya terlalu mendadak, dan materinya belum pernah ia kuasai. Ya memang sih, kurang nekat apa persiapan lomba baru dimulai saat H-7? Akhirnya pilihan jatuh ke Faisal Rahman (Ical) yang kelak justru menjadi ladang ide buat argumen kami. Kami pun melakukan persiapan di H-3. Iya tau kok, memang nggak tau diri.

Singkatnya, kami pun menang. Krik. Krik. Terus lolos ke babak nasional. Tapi kemenangan kami jauh lebih bermakna dari sekadar kemenangan. Karena, kami jadi saling dipertemukan satu sama lain. I got to know Rafif better, dan yang awalnya gue gak terlalu kenal sama Ical, jadi kenal banget. Mungkin kami bisa secocok itu karena satu kesamaan yang menjadi karakteristik kami: idealis. Kami mulai membangun visi, banyak berdiskusi, makin, makin, dan makin dekat. Sampai akhirnya kami berpisah. Yang awalnya kami bertiga mau menguning bersama di kampus perjuangan, akhirnya hanya gue dan Ical yang benar-benar menguning. Rafif yang keterima di UGM dan Unpad, akhirnya memilih untuk menjadi perjaka Bandung.

Rafif sedih banget waktu itu, begitu juga gue dan Ical. Tapi, ada semacam perasaan yang menyeruak, muncul tiba-tiba, yang intinya membuat gue sedikit lega. Entah kenapa, waktu itu gue pikir memang begitulah jalannya. Allah punya rencana yang terbaik buat Rafif, and it's proven now.

Sekarang gue yang malu. Gue yang ngerasa belum berbuat apa-apa. Jangankan Indonesia, mewakili diri sendiri aja belum loh, selama kuliah. Rasanya, ya, itu. Seperti ditampar bolak-balik. Padahal, visi kita sama, tujuan kita sama, tapi Rafif yang punya keberanian terbesar untuk melangkah duluan.

Gue bangga jadi sahabat dia. Dulu, sekarang, dan seterusnya, gue akan selalu bangga. Rafif memang dari kecil udah menunjukkan potensinya. Dia menang lomba sana sini--speech, debate, story telling, MUN. Tabungannya penuh dari hasil jerih payahnya sendiri. Dan yang gue kagumi, dengan semua prestasinya, dia masih sangat loyal dengan orang-orang terdekatnya. Sangat. Dia juga terpilih jadi duta sekolah waktu SMA, meskipun aslinya......dia agak bad boy. Dan sekarang, meskipun beda jalan dan tempat, dia gak pernah absen tiap kali gue butuh apa-apa. Dan lagi, gue, Rafif, dan Ical sama-sama tau, jalan yang kami ambil boleh aja berbeda sekarang, tapi tujuan kami tetap satu. Dan itu untuk Indonesia, yang entah bagaimana dan mengapa sangat kami cintai. Gue belajar banyak hal dari mereka, termasuk satu hal:

Sahabat yang baik akan membawa sahabat-sahabatnya ke jalan yang juga lebih baik, dengan ataupun tanpa sadar.

Seperti halnya Rafif, yang dengan prestasinya membuat gue nggak lelah memperbaiki diri.

Sekali lagi, selamat ya, Rafif!
Harumkan nama bangsa di negeri seberang samudera, kobarkan semangat merah putih, dan gaungkan sekeras-kerasnya lagu Indonesia Raya.

Hacn akan segera menyusul :-)

Ical, Hazna, dan Rafif

Kamis, 18 April 2013

Her Wish

"Selamat ulang tahun, Bintangku. Semoga di umurmu yang ke-18 tahun ini, kamu tetap menjadi bintang yang paling terang. Yang selalu dengan ikhlas membagi sinarmu untuk orang lain, yang selalu menjadi bintang jatuh dan bisa memenuhi semua keinginan orang. Yang selalu membuat orang tersenyum dengan hanya melihat sinarmu."

 Nam, Mami rindu.

Sabtu, 13 April 2013

Teruntuk Mama

Hari ini bisa jadi adalah hari teraneh--dan, termenyesakkan--sepanjang aku hidup. Bukankah tiap kali aku pulang, kau selalu menyambutku di depan pintu? Kau tidak pernah mengatakannnya secara lantang, tapi aku tau kau sengaja memasakkan makanan kesukaanku tiap kali aku datang. Lalu, malamnya kau pasti muncul di ambang pintu kamarku. Perlahan-lahan masuk dan berpura-pura mengisi baterai hp-mu. Padahal, ya, aku tau... Kau hanya ingin menanyakan hari-hariku. Maka aku bercerita padamu tanpa kau minta. Kau menerima riak wajah senangku, keluh sedihku, pernyataan lelahku. Kau tidak banyak menanggapi, kau hanya diam, sembari tersenyum. Sesekali tertawa, sesekali bertanya. Dan tiap kali aku kembali meninggalkanmu, kau selalu menanyakan apa yang ingin kujadikan sarapan. Terkadang hari sebelumnya sudah kau uleni adonan donat, agar besoknya bisa kau goreng dan kujadikan asupan pagi kala masih hangat. Lalu kau menggenggam tanganku, dan merelakan aku pergi. Siangnya, aku tidak heran jika status kontakmu mengisyaratkan kesedihan. Aku tau kau merasa kehilanganku, sama halnya seperti aku merasa kehilanganmu.

Pernah suatu hari aku tiba-tiba pulang. Aku melakukan sebuah kesalahan padamu, dan juga papa. Aku malu menampakkan wajah, tapi tidak bisa juga bila semua hanya kupendam. Aku berusaha tegar, bergeming di depan pagar. Kuucapkan salam agar seseorang keluar. Ketika itulah bayangmu berpindah bagai sekelebat, dan aku sudah mendapati dirimu memeluk erat tubuhku. Hanya tangis yang tak terbendung, dan maaf yang terucap dari lisan, hanya itu yang bisa kukeluarkan. Dan kau masih berkata,

"Tidak apa, keselamatanmu di atas segalanya. Jangan khawatirkan kami, justru kami yang sedari tadi khawatirkanmu."

Masih ingat ketika malamnya pun kau setia menemani. Dan esoknya, ketika aku diharuskan untuk pergi kembali, kamu memberikanku buku sekumpulan doa.

"Baca ini tiap pagi dan petang, Allah akan selalu melindungimu."

Dan hari-hariku selanjutnya kuisi dengan doa yang kau beri, dan tangis. Tangis karena teringat bayang wajahmu, karena tau dari jauh pun kau mendoakanku. Melebihi doaku untukmu, dan doaku untuk diriku sendiri.

Kau memanjakanku dengan caramu. Kau hampir tidak pernah memelukku. Kau juga jarang menemaniku berbelanja karena terlampau sibuk mengurus anak-anakmu yang lain. Sebelum aku keluar dari rumah, terutama, berapa kali kita berbagi cerita dalam seminggu? Kau juga sering kesal dengan kebiasaan malasku bila sudah berada di atas tempat tidur. Juga apabila lebih banyak waktu yang kuhabiskan di luar dibanding di rumah. Kita juga tidak pernah foto berdua, ya? Terakhir kali foto kita diambil bersama adalah saat berkunjung ke tanah suci hampir tiga tahun lalu. Hambar, ya, ikatan kita?

Tapi aku tau kau mencintaiku lebih dari apapun. Aku tau kau bangun tiap malam hanya untuk mendoakan orang tua, suami, dan anak-anakmu. Kau mengajariku tanpa kata-kata. Diam-diam aku mengagumimu yang berhati bagaikan malaikat--begitulah yang orang lain bilang. Aku mengagumi hatimu yang tulus itu, dan berharap sedikit mewarisinya darimu. Aku juga mengagumi ketegaranmu, mengagumi wajahmu yang tidak pernah menyiratkan beban, meski kutau masalah tidak pernah berhenti menderamu. Kau dan aku sama-sama tau, gengsi kita sama-sama besar untuk saling mengungkapkan rasa sayang. Untuk itu, aku hanya diam. Diam dalam doaku di sujud terakhir tiap shalatku.

Kau harus tau, kau adalah alasanku berjuang, meski aku tidak pernah bilang. Kau-lah yang kuingat ketika putus asa sudah aku mengejar pelajaran, atau terlampau lelah menyibukkan diri dengan ini dan itu.

Hari ini, kau tidak menyambutku seperti biasa. Justru aku yang mendatangi tubuhmu yang terkapar lemah, dikelilingi dua orang ibu yang sengaja datang dari jauh untukmu. Aku yang memelukmu terlebih dahulu. Dan aku yang tidak berani menatap wajahmu karena takut air mataku turun. Aku ingin diriku kuat, agar kau pun kuat.

Tau betapa hancur hatiku ketika mendengar cerita tentangmu? Tentangmu, wanita tertegar dalam hidupku, yang kembali berubah menjadi sesosok anak kecil yang terus menangis. Yang meminta keberadaanku pada ibumu, keberadaan ayahmu, suamimu, dan anak-anakmu yang lain. Tidak bisa kubayangkan kau merengek memohon itu. Dirimu, yang tidak pernah ingin dimanja, justru tidak ingin ditinggal oleh ibu kembali ke kampung halaman. Dirimu, yang selalu mengatakan segalanya berada di tangan-Nya, putus asa karena mendengar manusia yang mendiagnosa bahwa kamu tidak akan sembuh. Tau betapa takutnya aku?

Namun, lagi, kau mengatakan "tidak apa". Semudah itu kau menyuruhku agar tidak khawatir. Padahal, sedang kupikirkan kemungkinan untukku pulang pergi mencari ilmu--agar aku tidak perlu berada jauh darimu. Agar aku dapat menjagamu.

Teruntuk mama,

Sembuh, ya? Kembali lagi seperti dulu. Tiara minta dibuatkan donat kentang, tuh. Mama juga belum mengajar aku, Uta, dan Tiara memasak, kan? Aku rindu masakanmu yang kelezatannya nomor satu itu, yang menjadi alasan kedua sahabat-sahabatku selalu datang ke rumah--atau bahkan alasan pertama? Kau juga seringkali sengaja memasak banyak, kemudian menyuruhku mengundang mereka untuk datang. Kau membiarkan mereka jatuh cinta pada masakanmu, dan juga dirimu. Kau terbiasa dengan rakusnya mereka, kau memperlakukan mereka, pun, seperti anak-anakmu. Itulah mengapa aku begitu bersyukur memilikimu, karena kau tidak keberatan saat keluarga kita menambah lagi anggota-anggotanya yang baru. Begitu juga papa, Ai, dan Ehan. Karena dengan adanya kalian, aku merasa lengkap.

Teruntuk Allah,

Kenapa mama? Kenapa orang sebaik dia? Kenapa bukan orang lain? Kenapa bukan aku saja? Ya, aku saja. Pindahkan sakitnya padaku, semuanya. Tidak bisakah?

Beri tau aku bisa apa, kumohon.


Kamis, 11 April 2013

AAAAAAAKKK!!!

Sakit kepala bikin cheating sheet. Kemudian baru inget ini udah hari Kamis.

Naruto Chapt. 627 has been released already!

--


COOOOOOY GOKIL SIH. KENAPA HARUS BERSAMBUNG PAS KLIMAKS??!!!
*die*


Sasuke's group and the Hokage(s) are going to meet Uchiha Madara,
and of course, Naruto, at the battlefield!



Kebayang gak sih gimana jadinya Minato ketemu Naruto...... terus nanti semua orang tau dong mereka ayah-anak!!!! AAAAAAAKKK terus ketemu Sasuke juga!! Terus Hashirama ketemu Madara. Terus terus terus gak relaaaaaaaa kalo nyampe abis ini malah tamat!!! :"


I should tell a story about how severe Naruto influenced my whole perception, and point of view, about everything--friendship, family, nationalism, and... life.

Yang nyangka gue bercanda mati aja.
Back then, ini bukan waktu yang tepat. Balik MPKT-B dulu ya, guysss! HIHI.

Selasa, 09 April 2013

Have You?

Today,

I have got the announcement, yet

Mom has got her diagnose.


Rasanya lebih baik gak dapat kabar baik/buruk sama sekali. Sial, kenapa gue jadi cengeng gini.

Oh, dan ada lagi.

Dwinia Emil, terkepo 2013.


However, I feel grateful that she is.

Cara orang menunjukkan perhatiannya memang beda-beda, ya. Lucu sih.
Tetap jadi Mimil yang begini aja, bisa?

God, I sent You my gratitude today for ever arranging me a meeting with Mimil. Have You received it?

Minggu, 07 April 2013

Ma, Pa

"So if you get a second to look down at me now
Mom, Dad, I'm just missing you now
I still look for your face in the crowd
Oh if you could see me now"
Teteh mau ujian nih, Ma, Pa. Doakan ya! Iya, ingat kok. Bukan untuk mengejar nilai, tapi ilmu, kan? Untuk-Nya, mencari ridha-Nya?

I'm trying my best for you two. I love you, and I miss you.

Sabtu, 06 April 2013

Hacn kangen Aya.

Tapi jangan bilang-bilang, ya?

Thank You

Maybe I wrote too much today. But the last, I just want to say thank you.

Semangat saya sudah kembali, maksimum. Izinkan saya sejenak menutup mata, mengingat kembali apa yang selama ini menjadi alasan untuk saya bertahan. Dan di tengah gelap itu, saya melihat mereka.

Bisa jadi tadi saya hanya merasa kesepian, sampai rasanya benar-benar jenuh. Jenuh menghadapi semuanya sendiri. Namun, sekali lagi,

Beruntung saya kembali diingatkan, bahwa saya tidak sendiri,

oleh seseorang yang bahkan tidak lagi tinggal di sisi,

namun selalu tersimpan di hati, bersama berpuluh wajah lain.

Terima kasih.


Dari terminal Bekasi-mu.
Yang juga rumahmu.

Pervert

I'm currently on skype call with Adnil. Dan..... kembali lah gue menyampahi dia dengan segala macam dumelan. Dumelan yang bener-bener dumelan. I've been that tough without I realize, dan gue mencapai titik di mana gue gak bisa lagi menahan itu semua. Jadilah gue nangis hari ini. Nangis sejadi-jadinya. Crap, bahkan gue udah lupa kapan terakhir kali gue nangis.

Dan Adnil, instead of giving me some wise cooling words, he did this stuff indicating that he is a real pervert.

Dia. Nyukur. Jambang.

Dan dia melakukan hal-hal bodoh lainnya yang bikin gue gak bisa berhenti ketawa. Tapi ada satu hal sih yang bikin gue terharu.

Jadi ceritanya pas masih skype, gue ditelpon Haryo. Terus pulsa Haryo abis, terus gue telpon balik. Terus di tengah pembicaraan, koneksi kami kembali terputus. Ternyata pulsa gue pun habis.

G: AAAAAAA pulsanya habiiiiisss aaaaaa gimana ini!!!!???
A: Kenapa sih, Cen? Bener-bener gak ada pulsa? Lagi urgent ya?
G: Iya... Hufh. Yaudahlah.

Beberapa detik kemudian ada sms masuk, "Isi ulang Rp 50.000 regular dari xxx SUKSES...."
Gue kucek mata dulu, kirain lima ribu, bukan lima puluh ribu. Terus gue mikir, emang kapan juga gue pesan pulsa? Mikir lagi beberapa detik, dan kemudian teringat perkataan dia beberapa menit lalu, "Cen kalo beli pulsa ke gue aja, sekarang gue jualan pulsa loooh."

Seketika gue ketawa, "ADNIIIIL APA DEH!!!"
A: Apa siiih, Ceen.. (mukanya super duper ngegeliin sok-sok nyembunyiin sesuatu gitu.)

Yah, orang ini. Gak paham lagi sih. Gak ngerti lagi harus bilang apa. Pas sedih, dia-dia juga yang bikin gue ketawa. Pas butuh, dia gak pernah absen, bahkan selalu ngasih. 

Sahabat macam gini, gaktau lagi bisa nemu di mana.

Ke Mana Perginya

I almost forget this one. Dihadapkan pada diri saya di masa lalu, rasanya seperti kembali berpijak di atas tanah. Ke mana perginya saya yang ini.

"Izinkan saya untuk menceritakan bagian terbaik dari masa SMA saya. Seperti yang sebelumnya saya sebutkan di atas, saya sama sekali tidak berminat untuk mencari sahabat baru di sekolah. Namun, the harder we deny something, the closer it comes to us. Begitu juga dengan saya. Saya tidak bisa menolak mereka yang tersenyum pada saya, kemudian tanpa sadar selalu ada di samping saya apapun keadaannya. Saya tidak bisa mendeskripsikan mereka. Sungguh, mereka, bersama-sama, adalah kesempurnaan. Dan satu-satunya yang menjadi ketidaksempurnaannya adalah hakikat mereka sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, yang tidak bisa menolak ketika takdir meminta kami untuk berpisah sementara.

Kawan, tidak ada yang lebih indah dari mereka. Betapa kenangan manis dengan mereka sudah amat banyak membuat saya menangis. Allah begitu baik. Ia mengambil dua orang yang dulu sangat berharga dalam hidup saya untuk memberikan yang jauh lebih baik. Yang saya dapatkan lebih dari itu. Seorang ketua OSIS, seorang peraih mathematics medal sekaligus ketua ekstrakulikuler olimpiade di sekolah kami, seorang gadis multitalented yang baru saja kembali dari satu tahun student exchange-nya di Amerika, dan seorang seniman—saya katakan seniman di sini because he is born to sing, dance, and do fashion stuffs. Tidak hanya mereka, begitu banyak orang-orang yang Allah tempatkan di sekeliling saya yang tidak mungkin tidak saya syukuri. Terlalu banyak, bahkan. Dan karenanya, saya menghapus air mata saya. Saya bertekad untuk sukses. Saya tidak akan menyia-nyiakan mereka yang menjadi salah satu alasan saya bersyukur atas hidup. Saya, suatu saat nanti, akan membuat mereka bangga. Empat tahun waktu kami untuk mengarungi samudera seorang diri. Dan setelah itu, kami berjanji untuk ‘pulang’. Berkumpul kembali.

Tidak mungkin hujan mengguyur selamanya. Ada saat di mana kita berada dalam fase yang membuat kita menangis dan tertawa. Toh semua tetap akan terjadi, mengapa kita tidak menikmatinya? Our life is like a roller coaster. It’s our choice whether to scream or enjoy the ride. Kegagalan hanyalah salah satu rencana-Nya untuk menghindarkan kita dari jalan yang salah. Hanya butuh waktu untuk kita memahami logika-Nya. Dia ingin melihat, siapa di antara hamba-Nya yang ketika diberi cobaan akan tetap bersama-Nya, mempercayakan semua kepada-Nya, dan siapa dari mereka yang malah berbalik memunggungi-Nya. Sungguh, Ia-lah Yang Maha Tahu.

Salah satu kegemaran saya dan sahabat-sahabat saya adalah bermimpi. Kami bermimpi menemukan pemimpin muda untuk Indonesia, dan bersinergi bersama-sama membangun bangsa yang lebih baik. Kami bermimpi untuk mebawa pulang 48.000 tenaga ahli Indonesia ke tanah air. Mereka yang sudah dipersiapkan oleh Prof. Dr. B. J. Habibie sejak zaman Suharto kini terpencar di seluruh penjuru dunia, hidup sejahtera karena merasa lebih dihargai di negara orang. Kami bermimpi untuk membentuk pola pikir masyarakat yang partisipatif, yang merasa dirinya memiliki hak dan kewajiban untuk memberi sesuatu kepada negaranya, bukan terus meminta dikasihani. Kami bermimpi memiliki pemerintah yang tidak menunjuk pihak lain ketika dimintai pertanggungjawaban, pemerintah yang berjuang untuk rakyatnya. Kami bermimpi untuk mengambil alih SDA Indonesia dari cengkaraman asing yang berkedok investasi. Tidakkah kita, putera-puteri Indonesia, kurang banyak dan mampu untuk menciptakan perusahaan ekstraktif sendiri? Dan tidakkah 20% kuasa atas SDA bangsa sendiri merupakan presentase yang terlampau kecil? Kami bermimpi untuk mewujudkan estimasi Indonesia sebagai salah satu raksasa ekonomi dunia dengan GDP di atas US$ 1 triliun pada tahun 2015. Kami bermimpi untuk membebaskan Indonesia dari para gelandangan dan anak jalanan. Akan kami buatkan tempat berteduh untuk mereka! Melatih mereka yang sudah berumur, dan menyekolahkan anak-anak mereka. Kami bermimpi untuk merakit kembali, memperbaharui pesawat terbang N250-Gatot Kaca dengan sisa tiga ribu ahli dirgantara yang masih mengais nafkah di negeri sendiri—jumlah ini dapat dikatakan sedikit mengingat 13.000 lainnya sudah terlanjur besar di negeri orang. Kami bermimpi untuk membuat satu institusi sekolah, tempat seluruh anak bangsa yang terpilih berkumpul, bersatu, dibina untuk satu tujuan: memerdekakan Indonesia. Kami bermimpi untuk menggratiskan seluruh biaya pendidikan dan kesehatan. Kami ingin, setiap jiwa yang lahir di tanah ini memiliki hasrat untuk membanggakan negaranya. Ya, kami memang baru bermimpi. Tapi tidakkah semua hal besar berawal dari mimpi? Kami bermimpi, Indonesia menjadi bangsa yang mencintai rakyatnya, sama besarnya dengan cinta rakyat kepada negaranya.

Manusia itu spesial. Mereka diberi kemampuan untuk menentukan pilihan. Kita bukan boneka Tuhan. Memang, kita digerakkan oleh takdir, tetapi tidak ada yang tahu pasti takdir apa yang menunggu kita. Itulah mengapa kita diberi kebebasan untuk mengejar mimpi dan membangun diri sebaik-baiknya. Suatu saat, kita akan bersyukur atas kegagalan yang kita alami."

Dikutip dari Esensi Kegagalan oleh Hazna Nurul Faiza. 

Kamis, 04 April 2013

Everything is getting complicated.

Now that I cried myself to sleep,

I can't resist the voice echoing in my head,

telling me to go home.

I miss everyone.

Rabu, 03 April 2013

Smanghar, Smangkok!

Berhubung orangnya udah nanyain, dan sepertinya terlampau tidak sabar,



Tidak mudah. Ya, itu pasti. But again, you'll never be on your walk alone heading towards your weakness, I should say. Yes, since lack of support is the only weakness you have, I promise that you will never deal with it even for once. We will be right behind your back, always.

Back then, I'll try not to mislay your trust. As a friend, and as a partner. I'm not going anywhere.

Bismillahirrahmanirrahiim, untuk KOMPeK 16 yang lebih baik.

Smangkok, Pak PO,

Haryo Pangestu!


Hanya..... mengagumi dari jauh.

Ternyata pun indah ya.

Minggu, 31 Maret 2013

Untuk Matahari

Matahari,

I used to know everything about you. I feel sorry that I presently don't.


Seberapapun mencoba untuk kembali seperti dulu, sepertinya kita sama-sama tau, itu tidak mungkin. Bukan berarti aku mengingkari janjiku. Ingin aku tetap mengatakan padamu, "aku tidak ke mana-mana." namun kau dan aku sama-sama tau, aku tidak lagi tinggal di sisimu.

Setidaknya, kau dan aku sama-sama sadar, ini ada akhirnya. Setidaknya, kau dan aku sama-sama tau, kita tidak harus begini selamanya. Karena aku tempatmu pulang, sama seperti halnya kamu tempatku pulang.

Jangan kalah dengan pertarunganmu melawan ganasnya samudera. Maka, ketika Allah satu-satunya tempat kita bergantung, yakinlah aku selalu menemukanmu dalam diri-Nya, dan kamu pun bisa mencariku kepada-Nya. Kamu bukan lagi sosok yang terlihat kuat, namun rapuh. Kamu tidak lagi perlu seseorang yang menyuapimu agar kamu mau makan. Tidak perlu lagi seseorang yang bisa kamu jejalkan sampah yang malas kamu buang. Tidak perlu lagi seseorang yang pahanya kamu jadikan alas untuk tidur, yang tangannya sibuk memijati kepalamu agar kamu cepat terlelap. Kamu kuat, percayalah.

Entah sejak kapan pula, aku tidak bergantung lagi pada pelukmu. Peluk yang tanpa suara, namun mampu mengatakan, "semua akan baik-baik saja." Aku juga tidak lagi memiliki tangan lain yang bisa kugenggam ke manapun aku berjalan. Mau bagaimana lagi? Meski rindu, mungkin begini lebih baik.

Mereka bilang persahabatan kita aneh. Ya, aneh. Karena kita terlalu bergantung satu sama lain. Kamu bisa saja berusaha merubah dirimu. Aku bisa saja merubah diriku. Justru, itu perlu. Karena bila kita tetap jadi kita yang dulu, mungkin kita tidak akan bisa hidup. Dunia sudah terlampau berbeda.

Hanya saja, boleh kuminta satu hal? Bila nanti gelap malam datang menyelimuti, jangan lupa, selalu ada bulan di atas sana. Tiap kali lelah, tiap kali gundah, tiap kali semangatmu patah, ingatlah tempatmu pulang. Ingatlah ini tidak lama. Karena aku akan kembali ke sisimu, dan tinggal selamanya di sana.


Dari sahabatmu,
Bulan.

Kamis, 28 Maret 2013

In Her

I have a friend in college. Till I reach a point in which I can find, and feel, the existence of one of my high school best friend in her. Tiara Rachmaniar in Dwinia Emil. Despite every little difference settled in these separated two beings,

What makes you both so alike?

Selasa, 26 Maret 2013

Bangun!

In the midst of my unconsciousness when I was half asleep with headphones put on, my shuffled playlist came to the greeting song you made on my last birthday. Kemudian perlahan-lahan sadar... Sadar.... Sadar..... Aku tau apa yang harus kulakukan. Bangun. Tempatku di sini masih membutuhkan perjuangan untuk dipertahankan.

Terima kasih atas lagumu yang indah, dan setiap butir doa yang entah bagaimana mampu membuatku merasa tertampar.

Terima kasih, Sekar Dini Indriani. :-)

Sabtu, 23 Maret 2013

"Karena lo orang yang tulus dalam sebuah pertemanan, Cen. Itu yang nyokap gue lihat dari lo. Bahkan setiap kali gue pulang, beliau selalu nanya, 'udah nemuin Hazna belum?' Tapi lo jangan ge-er, ya..." -ANF

Rabu, 20 Maret 2013

Berputar

Beberapa waktu yang lalu, ingat banget, gue, Rizky, Tiara, Ayu, dan Mely baru mulai perjalanan ke bandara buat nganter Adnil yang saat itu mau exchange ke Polandia. Kebetulan Adnil naik mobil keluarganya yang udah berangkat duluan. Mely nyetir di depan, sebelahan sama Rizky. Sedangkan gue duduk di bangku belakang supir, Tiara di tengah-tengah, dan Ayu di bangku belakang Rizky. Kondisi ketika itu, gue lagi sibuk marcall-in kementerian buat event di tempat magang, Rizky belajar buat UAS lusanya, Mely konsentrasi menyetir, dan Tiara sibuk ngoceh tanpa peduli siapa yang dengerin. Ayu, yang sedari tadi hanya menimpali ocehan Tiara, akhirnya berucap...

"Kok sekarang kita beda banget sih? Kak Hazna makin sibuk, Kak Iky ada ada ajalah belajar, tupai satu di sebelah makin bori, rasanya dulu kalau kita semobil fokus kita cuma satu deh. Dan itu buat bareng-bareng."

Bahkan Ayu terang-terangan bilang gue berubah. Gue terlihat lebih tenang, katanya. Posisi 'terbori' se-grup Kambing gue patut dipertanyakan, dan bisa jadi kemungkinan berikutnya adalah gue harus siap dikudeta Tiara. Saat itu gue mikir, mungkin memang sudah saatnya. Bisa jadi, detik itu memang turning point kita. We cannot stay like a child forever, rite?

Semuanya gue biarkan mengalir. Sampai ke bandara dan ketemu Adnil. Sampai kita tiba di penghujung hari, dan memulai perjalanan pulang. Dan gue sadar....

Tiba-tiba kita udah ketawa bareng-bareng lagi. Tiara tetap ngoceh, tapi yang berbeda, ditambah dapat bully dari kita berempat. We made such a freak video in the car. Rizky kapok belajar. Gue juga gak mungkin marcall malem-malem. Dan kita kembali lagi seperti dulu, seakan-akan memang tidak ada yang berubah.

Tiba di rumah, gue kembali hampa.

Kita bisa aja berputar jadi diri yang bukan kita. Mungkin, yang terjadi, kita memang sengaja berputar. Agar tetap hidup. Tapi, saat kita benar-benar 'pulang', ya.... Kita memang tidak akan bisa menjadi orang lain di tengah keluarga sendiri, bukan?

Kamis, 14 Maret 2013

Ada saat-saat di mana kau ingin lari. Sayangnya, tidak ada tempat untuk kau bersembunyi. Ya, hadapi sajalah.

Selasa, 12 Maret 2013

"Jika kami benar orangnya, dan jika mimpi ini tidak salah, izinkan kami melakukannya."

Senin, 11 Maret 2013

I Can't Thank You For More


Hasta Siempre, Comandante

Well, this is my very first writing as a staff. You can read others either by clicking Kastrat BEM FEUI's official blog page or simply following this site. Sorry for any error occured, I'm currently learning. Happy reading!

Oleh: Hazna Nurul Faiza

58 tahun yang lalu, sesosok bayi keturunan kaum papa pinggiran lahir di Sabaneta, Venezuela. Enam tahun setelahnya, menyadari tidak ada lagi yang dapat keluarganya makan, ia turun ke jalan mencari nafkah dengan berjualan permen. Jika kemiskinan diibaratkan sebagai samudera ganas yang menempa seorang nelayan menjadi pelaut yang handal, bisa jadi kemiskinanlah yang membuat bocah tersebut menjadi tokoh dunia abad ke-21. Ialah dia, satu-satunya pemimpin yang menyebut mantan presiden Amerika Serikat, George W. Bush, sebagai iblis pada Majelis Umum PBB tahun 2006, di saat seluruh dunia bertekuk lutut di bawah kekuasaan Paman Sam. Ialah dia, yang berani mengusir Duta Besar Israel bagi Venezuela segera setelah negara tersebut melanggar resolusi PBB mengenai sengketa dengan Palestina. Ialah dia, yang mampu mengentaskan kemiskinan rakyat Venezuela lebih dari 75% dalam 10 tahun pemerintahan. Ialah dia, yang kematiannya menimbulkan pergerakan kenaikan harga minyak dunia sebesar 0.6 dollar per barrel. Ialah dia, yang dikatakan Presiden Barzil, Dilma Roussef, sebagai pemimpin bagi Amerika Latin. Ialah dia, yang kehadirannya di muka bumi disamakan dengan tokoh legendaris Simon Bolivar. Ialah dia, yang menghentikan “penindasan” kapitalisme hasil dominasi elite kulit putih selama ratusan tahun hingga dekade 1990-an di negeri penghasil minyak kedua terbesar di dunia. Ialah dia, Hugo Chavez.

“Harus mengalami penderitaan rakyat untuk dapat menjalankan pemerintahan yang memahami rakyat.”

Mungkin hal tersebutlah yang dialami Hugo Chavez, pelopor kepemimpinan sayap kiri di Amerika Latin. Kemiskinan yang menjerat keluarganya dan jutaan rumah tangga lain keturunan kaum papa—mayoritas terpinggirkan di Venezuela—membuatnya hidup dengan satu impian akan perubahan. Ia pertama kali menapaki perjalanan menuju mimpinya dengan masuk Akademi Militer Venezuela dan lulus pada tahun 1975. Selama belasan tahun ia berkarier sebagai penerjun payung dan guru akademi, selama itu pula ia mengkritik keras setiap tindak-tanduk kebijakan penguasa Venezuela. Ia pun kemudian melanjutkan studi ilmu politik di Universitas Simon Bolivar meskipun tidak sampai rampung. Puncaknya, pada tahun 1992, Chavez memimpin kudeta terhadap presiden kala itu, Carlos Andres Perez. Sayang, kudeta tersebut gagal dan ia pun berakhir di penjara meski hanya membutuhkan satu tahun hingga akhirnya Perez diberhentikan dari jabatannya. Lepas dari jeruji besi, Chavez mulai mengkampanyekan apa yang ia sebut “Bolivarianisme” dengan poin-poin inti seperti anti-imperialisme, swasembada ekonomi, dan kedaulatan Venezuela. Pendapatan negara melalui minyak bumi juga menjadi salah satu perhatiannya. Ia percaya bahwa apa yang dihasilkan dari bumi tanah airnya adalah hak warga negaranya yang harus terdistribusi secara merata.

Tindak-tanduk Hugo Chavez

Tahun 1998 menjadi tahun kemenangan Hugo Chavez dengan 56% suara. Ia memulai pemerintahan dengan mengambil kebijakan Pemenuhan Hak Dasar seperti pangan, sandang, dan papan. Ia menyelamatkan rakyat Venezuela dengan memberantas kemiskinan yang sebelumnya 11,36% menjadi 6,79% dalam sepuluh tahun. The Great Housing Mission (GMVV) adalah kebijakan Chavez yang lain, di mana pemerintah menyediakan rumah untuk keluarga berpenghasilan rendah dan berpenghidupan tidak layak. Pada September 2012, pemerintahan Chavez telah berhasil memberikan lebih dari 250.000 unit rumah untuk warganya yang miskin. Penghematan saat krisis yang dilakukan hampir seluruh negara di dunia tidak ikut dilakukan Venezuela. Sebaliknya, negara tersebut melakukan belanja pemerintah besar-besaran untuk misi-misi sosial, seperti pemberantasan buta huruf, pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Chavez juga melucuti bisnis-bisnis hasil kerjasama dengan Amerika Serikat dan Eropa yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Itulah mengapa elite bisnis menjadi salah satu kalangan yang kerap berseteru dengan pemerintahan yang ia pimpin. Chavez tampil sebagai sosok yang menasionalisasi aset-aset perusahaan minyak internasional yang beroperasi di Venezuela. Bukan saja nasionalisasi, ia juga menurunkan angka ekspor hasil minyak negaranya yang pada awal tahun 2000 mencapai tiga juta barrel per hari menjadi tinggal 1,7 juta barrel per hari pada tahun 2011. Di sisi lain, ia berani mengganti nama negaranya menjadi Republik Bolivarian Venezuela.  

Nama Hugo Chavez tidak kalah sering disebut sebagai sosok yang sering melakukan manuver politik nasional maupun internasional. Presiden Venezuela ke-53 ini adalah pimpinan “Revolusi Bolivarian” yang merupakan titik balik pembelaan kaum miskin Venezuela dengan sistem sosialis yang kental. Meski dicap sebagai salah satu pemimpin haluan kiri, Chavez dikenal bukan sebagai sosok yang memperkaya diri dengan otoritas yang dimilikinya. Ia jauh dari karakter Husni Mubarak dari Mesir, misalnya, meskipun tidak dapat dipungkiri berbagai kebijakan yang ia hasilkan seringkali membuat pihak oposisi gigit jari. Upaya oposisi untuk menurunkan Chavez dari jabatan presiden sudah berkali-kali dilakukan, mulai dari referandum hingga kudeta. Namun tetap saja, suara rakyatlah yang pada akhirnya pun selalu mengembalikan Chavez ke tahta. 

Di mancanegara, Chavez terkenal bukan hanya sebagai pemimpin yang mampu membawa kemakmuran bagi negerinya, namun juga sosok yang kerap menimbulkan kontroversi. Dimulai dari gebrakannya membentuk “Gerakan Republik Kelima” yang berisi negara-negara penganut sistem sosialis demokratis—yang kemudian ia sebut sebagai “Sosialisme Abad 21”. Venezuela banyak membantu negara-negara yang memiliki garis sistem yang sama dengannya, sebut saja Kuba yang telah menerima bantuan milyaran dollar AS selama pemerintahan Chavez. Negara lain di kawasan Amerika Latin juga tidak lepas dari pengaruhnya. Bolivia menunjukkan penurunan angka kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan semenjak Evo Morales menjadi presiden di tahun 2006. Hal tersebut tidak lain adalah karena Morales melakukan nasionalisasi perusahaan yang sama dengan yang dilakukan Chavez. Dapat dikatakan, Chavez adalah mentor dan pendukung Morales di balik kemajuan Bolivia. Ia membangun aliansi yang kuat bukan hanya dengan negara yang secara eksplisit berpaham dan berkeyakinan sama, Iran misalnya. Belasan kali sudah Chavez mengunjungi presiden Iran, Mahmoed Ahmadinejad, dan terhitung enam kali pula presiden Iran mendatangi Venezuela untuk bertemu Chavez. Partner Venezuela berdatangan bukan hanya dari kubu Amerika Latin seperti Kuba, Argentina, Bolivia, dan Brazil, namun juga dari negara-negara muslim lain seperti Suriah dan Libya. Negara-negara Eropa, katakanlah Inggris, Spanyol, Italia, dan Portugal, dan blok sosialisme keras, Cina dan Rusia, pun termasuk ke dalam kubu Chavez. Untuk penduduk miskin dunia, Chavez menjatahkan 8% dari APBN Venezuela untuk segala investasi luar negeri, bantuan, maupun subsidi. Begitupun saat tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004, Venezuela memberikan bantuan senilai dua juta dollar AS. Petro Caribe adalah program pemerintah Venezuela yang ia ciptakan untuk membantu pemenuhan kebutuhan minyak negara-negara kecil di Karibia dengan jumlah 200.000 barrel per hari. Di sisi lain, Chavez juga membentuk ALBA dan CELAC sebagai blok yang akan melakukan pengentasan orang miskin sekaligus penolakan terhadap Amerika Serikat. Ia menolak perjanjian-perjanjian perdagangan kapitalis dan privatisasi. Gerakan Chavez yang terbilang berani inilah yang mampu membungkam negara adidaya semacam Amerika Serikat.

Pasca Meninggalnya Chavez

Iring-iringan sejauh delapan kilometer ditempuh warga Venezuela dengan berjalan kaki, tidak lupa disertai isak tangis. Tidak, bukan tangis yang dibuat-buat seperti yang terjadi di Korea Utara sepeninggalan pemimpinnya, tetapi tangis yang secara alami mengalir dari mata rakyat yang kehilangan sosok pemimpin. Rakyat yang kehilangan pemimpin yang berhasil mengambil hati mereka bukan hanya dengan orasi, namun juga bernyanyi dan menari bersama. Tidak hanya di negeri sendiri, dukacita dan belasungkawa mengalir dari berbagai belahan bumi—mulai dari Vladimir Putin hingga Barack Obama. Jangan heran jika Argentina dan Kuba menetapkan tanggal 5 Maret lalu sebagai hari berkabung nasional. Terlebih lagi, rakyat Amerika Latin menganggap kematian Chavez akan membawa perubahan yang tidak diinginkan di kawasan tersebut. Tepat sehari setelah meninggalnya Chavez, Presiden Bolivia Evo Morales, Presiden Argentina Cristina Kirchner, dan Presiden Uruguay Jose Mujica telah berada di Caracas, Venezuela. Meninggalnya Hugo Chavez membuat kondisi politik di Venezuela jadi tidak menentu. Rakyat, partai penguasa, maupun partai oposisi dibuat cemas akan proses transisi kekuasaan yang mau tidak mau telah berada di depan mata. Belum sampai seminggu, tindak kekerasan berbau politik sudah beberapa kali terjadi di Venezuela. Ketidakpastian juga terjadi dalam geopolitik migas yang menyebabkan kenaikan harga minyak dalam jangka pendek meskipun tidak begitu signifikan. 

Meskipun begitu, meninggalnya Chavez tidak serta merta menjadi kesedihan untuk semua orang. Mereka yang sejak awal menaruh rasa tidak suka pada Chavez terang-terangan mengatakan bahwa kepergian Chavez justru akan membawa angin segar dalam perdagangan, terutama ekspor minyak yang menjadi komoditas utama Venezuela. Kepergiannya juga dianggap sebagai babak baru yang dapat meminimalisasi gerakan anti-AS di berbagai negara yang sebelumnya Chavez timbulkan. Beberapa mengatakan bahwa meninggalnya Chavez dapat membawa suasana yang lebih demokratis di Venezuela seiring penurunan pengawasan terhadap media dan penegakan peradilan hukum yang tidak dapat terlaksana di masa Chavez berkuasa. Adalah hal yang mungkin jika perusahaan-perusahaan asing kembali datang ke Venezuela untuk mengambil alih lahan yang sebelumnya direbut “paksa”. Kaum elite bisnis bisa jadi pihak yang digembirakan, Lorenzo Mendoza, misalnya. Dialah orang terkaya kedua di Venezuela, pemilik perusahaan bir dan bahan makanan yang kerap berseteru dengan Chavez. Pihak lain bisa jadi adalah orang terkaya di seluruh Venezuela dengan kekayaan senilai US$ 4,4 milyar, Gustavo Cisneros, yang stasiun tv miliknya dipaksa terus menawarkan konten hiburan selama Chavez menjabat. Kini, Cisneros bisa saja mengembalikan Venevision—stasiun tv terbesar dengan 67% pemirsa Venezuela—ke ranah politik. Berbagai kabar bermunculan seiring bertambahnya pemberitaan mengenai kematian Chavez dan pengusiran dua atase militer AS. Wakil presiden Venezuela, Nicolas Maduro, mengatakan bahwa kematian Chavez adalah hasil konspirasi musuh yang sebelumnya sudah dengan sengaja memasukkan virus kanker ke tubuh Chavez. Meski begitu, belum ada bukti yang cukup untuk menindaklanjuti tuduhan tersebut.

Indonesia dan Venezuela

Kebangkitan Venezuela dengan munculnya seorang figur memunculkan satu pertanyaan yang tidak terbantahkan: Kapan giliran Indonesia? Haruskah kita menunggu, atau menciptakan figur?

Revolusi Bolivarian adalah momentum bagi rakyat Venezuela yang selama ratusan tahun terperangkap dalam “kolonialisme”. Hugo Chavez datang dari kalangan bawah, menggulingkan dominasi elite putih, dan berhasil membawa perubahan bagi Venezuela. Terlepas dari sistem yang ia gunakan dalam pemerintahan, Chavez berhasil mewujudkan apa yang menjadi jati diri bangsanya. Baginya, sosialisme adalah cara yang paling tepat untuk memberantas endemik yang terlanjur menyebar dalam tubuh negerinya. Ia berani bermanuver, melakukan gebrakan, dan menentang Amerika Serikat. Semuanya berasal dari mimpi kecil yang berawal dari kekagumannya akan seorang Simon Bolivar, dan ia menemukan bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Chavez tidak hanya membawa angin segar untuk rakyat Venezuela, tetapi juga dunia. Ia membuktikan bahwa sosialis bukanlah komunis, dan kapitalis tidak selalu modern dan benar. Ketika masyarakat miskin yang menjadi fokusnya, ia tegakkan tubuhnya, luruskan pandangannya, tegapkan bahunya, siap menjadi tempat mereka untuk bersandar. Barangkali ia berpikir, jika bukan dirinya, siapa lagi? Adalah George Galloway, salah seorang anggota parlemen AS yang tengah berada di Venezuela saat berlangsungnya pemilu presiden pada Oktober 2012. Saat itu, ia tergabung dalam kubu oposisi yang menentang naiknya kembali Chavez ke kursi kepresidenan. Berbulan-bulan setelah itu, ia memaki seorang mahasiswa Oxford yang secara frontal mengatakan bahwa Chavez tidak lain hanyalah seorang diktator. Rupanya, pengalamannya di Venezuela membawa Galloway pada kesimpulan yang 180 derajat berlawanan dengan persepsi awalnya. “Chavez is the most democratic politician on the earth,” ujarnya. Selamat tinggal, Hugo Chavez.

Indonesia tidak membutuhkan seorang Hugo Chavez. Indonesia membutuhkan seseorang dengan semangat yang sama. Tanpa kita sadari, perlahan-lahan, kapitalisme telah merasuki seluk beluk kehidupan kita. Hasilnya? Distribusi pendapatan makin timpang, kesejahteraan rakyat dinomorduakan. Dan anehnya, kita semua masih diam. Indonesia tidak dibangun untuk wadah kapitalisme maupun sosialisme. Indonesia dibangun dengan nilai dan cita-cita yang luhur, Pancasila. Sayangnya, konsep Pancasila hingga abad ini hanya sampai kepada lima nilai yang wajib dihafalkan sejak sekolah dasar. Jangankan diaplikasikan dalam sistem ekonomi ataupun pemerintahan, apa yang disebut “pengamalan sehari-hari” saja masih terlupakan. Pengaplikasian yang masih tabu itulah yang membuat kita harus mengakui, nilai-nilai Pancasila, mau tidak mau, disengaja ataupun tidak, pasti akan menjurus ke salah satu dari dua aliran ekstremis: kapitalis atau sosialis. Mana yang terbaik untuk bangsa?

Tidak ada yang salah dengan galau memikirkan nilai, kepanitiaan, atau pacar sekalipun. Bukankah memang begitu normalnya anak muda? Namun, alangkah lebih baiknya jika Anda menambah satu lagi alternatif bahan penggalauan: negara ini, Indonesia.

Bangsa ini sedang sekarat, kawan.