Sabtu, 06 April 2013

Ke Mana Perginya

I almost forget this one. Dihadapkan pada diri saya di masa lalu, rasanya seperti kembali berpijak di atas tanah. Ke mana perginya saya yang ini.

"Izinkan saya untuk menceritakan bagian terbaik dari masa SMA saya. Seperti yang sebelumnya saya sebutkan di atas, saya sama sekali tidak berminat untuk mencari sahabat baru di sekolah. Namun, the harder we deny something, the closer it comes to us. Begitu juga dengan saya. Saya tidak bisa menolak mereka yang tersenyum pada saya, kemudian tanpa sadar selalu ada di samping saya apapun keadaannya. Saya tidak bisa mendeskripsikan mereka. Sungguh, mereka, bersama-sama, adalah kesempurnaan. Dan satu-satunya yang menjadi ketidaksempurnaannya adalah hakikat mereka sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, yang tidak bisa menolak ketika takdir meminta kami untuk berpisah sementara.

Kawan, tidak ada yang lebih indah dari mereka. Betapa kenangan manis dengan mereka sudah amat banyak membuat saya menangis. Allah begitu baik. Ia mengambil dua orang yang dulu sangat berharga dalam hidup saya untuk memberikan yang jauh lebih baik. Yang saya dapatkan lebih dari itu. Seorang ketua OSIS, seorang peraih mathematics medal sekaligus ketua ekstrakulikuler olimpiade di sekolah kami, seorang gadis multitalented yang baru saja kembali dari satu tahun student exchange-nya di Amerika, dan seorang seniman—saya katakan seniman di sini because he is born to sing, dance, and do fashion stuffs. Tidak hanya mereka, begitu banyak orang-orang yang Allah tempatkan di sekeliling saya yang tidak mungkin tidak saya syukuri. Terlalu banyak, bahkan. Dan karenanya, saya menghapus air mata saya. Saya bertekad untuk sukses. Saya tidak akan menyia-nyiakan mereka yang menjadi salah satu alasan saya bersyukur atas hidup. Saya, suatu saat nanti, akan membuat mereka bangga. Empat tahun waktu kami untuk mengarungi samudera seorang diri. Dan setelah itu, kami berjanji untuk ‘pulang’. Berkumpul kembali.

Tidak mungkin hujan mengguyur selamanya. Ada saat di mana kita berada dalam fase yang membuat kita menangis dan tertawa. Toh semua tetap akan terjadi, mengapa kita tidak menikmatinya? Our life is like a roller coaster. It’s our choice whether to scream or enjoy the ride. Kegagalan hanyalah salah satu rencana-Nya untuk menghindarkan kita dari jalan yang salah. Hanya butuh waktu untuk kita memahami logika-Nya. Dia ingin melihat, siapa di antara hamba-Nya yang ketika diberi cobaan akan tetap bersama-Nya, mempercayakan semua kepada-Nya, dan siapa dari mereka yang malah berbalik memunggungi-Nya. Sungguh, Ia-lah Yang Maha Tahu.

Salah satu kegemaran saya dan sahabat-sahabat saya adalah bermimpi. Kami bermimpi menemukan pemimpin muda untuk Indonesia, dan bersinergi bersama-sama membangun bangsa yang lebih baik. Kami bermimpi untuk mebawa pulang 48.000 tenaga ahli Indonesia ke tanah air. Mereka yang sudah dipersiapkan oleh Prof. Dr. B. J. Habibie sejak zaman Suharto kini terpencar di seluruh penjuru dunia, hidup sejahtera karena merasa lebih dihargai di negara orang. Kami bermimpi untuk membentuk pola pikir masyarakat yang partisipatif, yang merasa dirinya memiliki hak dan kewajiban untuk memberi sesuatu kepada negaranya, bukan terus meminta dikasihani. Kami bermimpi memiliki pemerintah yang tidak menunjuk pihak lain ketika dimintai pertanggungjawaban, pemerintah yang berjuang untuk rakyatnya. Kami bermimpi untuk mengambil alih SDA Indonesia dari cengkaraman asing yang berkedok investasi. Tidakkah kita, putera-puteri Indonesia, kurang banyak dan mampu untuk menciptakan perusahaan ekstraktif sendiri? Dan tidakkah 20% kuasa atas SDA bangsa sendiri merupakan presentase yang terlampau kecil? Kami bermimpi untuk mewujudkan estimasi Indonesia sebagai salah satu raksasa ekonomi dunia dengan GDP di atas US$ 1 triliun pada tahun 2015. Kami bermimpi untuk membebaskan Indonesia dari para gelandangan dan anak jalanan. Akan kami buatkan tempat berteduh untuk mereka! Melatih mereka yang sudah berumur, dan menyekolahkan anak-anak mereka. Kami bermimpi untuk merakit kembali, memperbaharui pesawat terbang N250-Gatot Kaca dengan sisa tiga ribu ahli dirgantara yang masih mengais nafkah di negeri sendiri—jumlah ini dapat dikatakan sedikit mengingat 13.000 lainnya sudah terlanjur besar di negeri orang. Kami bermimpi untuk membuat satu institusi sekolah, tempat seluruh anak bangsa yang terpilih berkumpul, bersatu, dibina untuk satu tujuan: memerdekakan Indonesia. Kami bermimpi untuk menggratiskan seluruh biaya pendidikan dan kesehatan. Kami ingin, setiap jiwa yang lahir di tanah ini memiliki hasrat untuk membanggakan negaranya. Ya, kami memang baru bermimpi. Tapi tidakkah semua hal besar berawal dari mimpi? Kami bermimpi, Indonesia menjadi bangsa yang mencintai rakyatnya, sama besarnya dengan cinta rakyat kepada negaranya.

Manusia itu spesial. Mereka diberi kemampuan untuk menentukan pilihan. Kita bukan boneka Tuhan. Memang, kita digerakkan oleh takdir, tetapi tidak ada yang tahu pasti takdir apa yang menunggu kita. Itulah mengapa kita diberi kebebasan untuk mengejar mimpi dan membangun diri sebaik-baiknya. Suatu saat, kita akan bersyukur atas kegagalan yang kita alami."

Dikutip dari Esensi Kegagalan oleh Hazna Nurul Faiza. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar