Sabtu, 20 Juli 2013

Tapi Aku

Terkadang Tuhan tersenyum pada kita dengan cara yang tidak pernah terpikirkan ada.

Lantunan ayat-ayat-Nya bersahut-sahutan di tengah gelap malam yang menjelang pagi. Ada rindu yang menyeruak. Ada memori yang muncul silih berganti. Kemudian, kuingat betapa dekatnya Kami dulu. Kudapati diriku sudah sebesar ini, dengan seribu 'sejak terakhir kali...'

Baru semalam aku merisaukan sesuatu yang tak patut dirisaukan, sesuatu yang menjadi urusan-Nya. Kini, kembali kuingat betapa cinta-Nya padaku dahulu, mampu membuatku merasa lebih dari cukup. Bukan cinta-Nya yang tidak sebesar dulu, tetapi kapasitas imanku yang kini terlampau kecil untuk menerimanya.

Aku serahkan hidupku, pada-Mu. Hidup, dan matiku.

Jumat, 12 Juli 2013

Kala Kuingat

Ini cerita antara aku dan kamu saja. Tadi, tepat di rakaat terakhir sembahyang maghrib-ku, sekejap terlintas sesuatu.

Seseorang menggandeng tanganku dari satu sudut ke sudut lain yang tampak familiar. Kulitnya putih bersih, matanya bulat jernih, hidungnya mancung, dan bibirnya merah kejambu-jambuan (bukan karena lipstik ataupun kepedasan, tetapi memang begitulah adanya). Wajahnya seakan menyiratkan dirinya memiliki moyang dari Timur Tengah, meski nyatanya darah Minang dan Sunda-lah yang mengalir dalam dirinya. Yang paling khas dari dia adalah rambutnya yang keriting dan besar. Mereka menyebutnya, kribo. Dari sanalah asal salah dua sebutan dirinya, "kribo" dan "ibo". Yang spesial, karena rambutnya yang tidak pernah bisa memanjang ke bawah itulah, ia menyabet gelar terganteng satu angkatan. Namun, jangan salah membedakan ketika ia mulai mengenakan hijab. Biar kubisikkan, cantiknya bukan main!

Ia sedang tidak memakai hijab kala aku mengingatnya. Yang ia pakai hanyalah potongan klasik seragam putih abu-abu--kemejanya berlengan pendek, pun roknya pendek sebetis, dipakai tepat di garis pinggang. Tangan kirinya menggenggam tangan kananku, hal yang rutin kami lakukan tiap kali berjalan di luar kelas. Berjalan dari satu sudut ke sudut lain yang kemudian kuingat sebagai memori akan SMA-ku.

Rasanya aman dan damai kala aku mengingatnya. Yang bisa kudeskripsikan sebagai kebahagiaan ketika kini tidak lagi kumiliki. Kebahagiaan yang sederhana; berjalan bersama sahabat yang kamu cinta.

Untuk dirinyalah mengalir semua doaku dahulu. Kebahagiaan, kemudahan, bimbingan, kebebasan dari jerat derita, kekuatan, keberanian, lindungan. Karenanya lah aku tidak pernah lelah meminta kepada Yang Maha Memberi. Karenanya lah aku ketakutan ketika sedikit saja berjauhan dengan Yang Maha Mengasihi.

Kini ia tidak lagi menemani langkahku, tidak lagi menggenggam tanganku.

Rasanya air mataku mengalir kala aku mengingatnya. Dan kembali kuminta dalam doaku, Tuhan, izinkan kenanganku akannya mengembalikanku lagi pada-Mu.



Minggu, 07 Juli 2013

"If you could do magic, what part of this Nation will you change?"

Well, Dinar. I don't really think I have a proper answer for this question.

Negara ini tidak pernah ditakdirkan miskin, satu hal yang saya percaya. Namun, ada frase yang hilang. Biasanya kalimat tersebut diikuti "...tetapi berada di tangan yang salah."

Hei, dulu saya salah satu orang yang meyakini mati kalimat tersebut. Pikiran dan hati saya menggebu-gebu ketika memikirkan negeri ini, membayangkan how great this nation is gonna be ketika generasi saya--kita--memimpin. Saya begitu merasa percaya diri, seolah-olah tangan saya bukanlah satu dari 'tangan yang salah' tersebut. Kemudian...

Saya mulai bertemu orang-orang hebat. Akademisi. Politisi. Pengusaha. Menteri. And know what? Saya mulai berpikir dua kali. Mereka orang yang hebat, benar-benar hebat. Mereka pintar, kritis, visioner, tulus, lontarkan saja semua pujian. Lalu, bagaimana mungkin negeri ini masih seperti ini di tangan mereka? Di tangan orang yang, setelah saya temui, saya yakini bukan tangan yang salah.

Naif sekali, pikir saya, jika saya pikir tangan saya lebih 'benar' daripada mereka. Ada ungkapan lain yang bilang, "Semua orang pintar di Indonesia sudah dan akan pergi. Jika Anda masih tinggal karena merasa dapat merubah negeri ini, maka Anda adalah orang yang naif." Dulu saya mati-matian menentangnya. Dan kini, semakin banyak tahu, saya pun kembali berpikir dua kali.

Apakah saya orang yang naif? Untuk berpikir tangan saya mampu memangku 240 juta penduduk dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote? Untuk memimpikan diri saya bertahan di negeri ini, dengan harapan membawanya ke arah yang lebih baik? Saya yang dulu akan menjawab, tidak, saya bukan orang yang naif. Berpikir seperti itu bukanlah hal yang naif.

Saya yang sekarang akan menjawab, ya, saya orang yang naif, tetapi saya tidak peduli.

Saya yang dulu hanyalah bocah yang terbuai mimpi, yang polos, yang tidak tahu apa-apa. Sekarang, bukannya saya tahu segala hal, hanya saja saya mulai dapat melihat dan merasakan apa itu keputusasaan yang dibawa sesuatu bernama realita. Saya sempat ingin menyerah dan mencoba realistis, ayolah buka mata! Merubah negeri ini bukan hal yang mudah. Hingga salah satu sahabat saya berkata,

"Dihadapkan dengan yang seperti ini, bukannya sudah banyak yang menyerah? Kalau menyerah sekarang, apa bedanya kamu dengan mereka?"

Saya pun mulai hilang arah dan mencari kembali diri saya yang dulu, si bocah penuh harapan. Dan, tara! Saya menemukan ini, beberapa bait dari pidato saya di kelas Bahasa semasa kelas 3 SMA dulu.

"...Bayangkan hal ini terjadi pada beribu-ribu keluarga lain. Warga komplain, pemerintah tidak menanggapi, warga kehilangan kepercayaannya, warga apatis. Bukannya siklusnya akan seperti itu? Di saat yang sama, warga lain turut menyalahkan pemerintah. Entah mengenai reshuffle kabinet, pembebasan walikota Bekasi dari jerat korupsi, kerusuhan Freeport, ataupun berbagai kasus lainnya. Alih-alih pemerintah sadar atas kicauan warganya, dengan santai mereka membalik keadaan dengan melontarkan kalimat bijak JFK, 'Don't ask what your country can do for you. But ask what you can do for your country.' Pada akhirnya, siapa yang patut dipersalahkan? Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, tentu karena pertanyaannya saja sudah salah.

Bangsa ini baru akan kokoh apabila para pemimpinnya mulai memberi dan berhenti meminta pamrih, sementara rakyatnya berhenti menyalahkan dan mulai berkontribusi.


Pertanyaan yang sebenarnya, kapan kita mau memulai?"

Saya melupakan diri saya yang pernah menulis demikian. Saya melupakan problema mayor di Indonesia yang ditemukan oleh diri saya yang penuh harapan dan optimisme. Diri yang jauh berbeda dengan saya yang sudah cukup menelan realita pahit.

Sekarang saya tahu kondisinya. And I don't wanna lose my faith. I choose to live my old dream, meskipun hal tersebut akan membuat saya terlihat naif.  
And I'll definitely make it real.
Tidak, saya tidak merasa memiliki tangan yang 'benar'. I will just simply struggle to have one, that's worth a try, isn't it? Ya, saya naif karena tidak pernah sekalipun terpikir di benak untuk tinggal di tanah orang lain. Tapi saya adalah orang yang akan membuat mereka yang telah pergi merasa lebih naif, karena apa yang mereka harap akan dapat di luar sana tidak akan lebih besar dari apa yang akan mereka dapat apabila tinggal. Merasa naif untuk mencari keluar sesuatu yang sebenarnya negeri ini dapat beri lebih.

I'm currently facing the real world.
I have once lost hope.
I have once given it up.
But I believe, this should be right.
To gather new hopes,
And make it happen.
I'm not afraid anymore.

--

 

Harapan.

That's my answer, Din.

"Apa Kabar?"

Kamu, tujuh-tahun-mendatangku,
Ah, lama, ya, tak bincang lewat kata. Kabar baikkah?
Ya, tertawa saja jika kutanya kabar. Tak apa pula, bukan, jika kini tak tahu-menahu kabar? Toh, romantis bukan bisikkan kabar tiap saat, cukup saling pinta dalam diam agar dijadikan satu saat siap nanti. Namun, tetap saja terus kuharap primamu di setiap waktu. Baik-baik, kumohon.

Kamu, yang ternyata-mungkin-lebih-atau-bahkan-kurang-dari-tujuh-tahun-mendatangku,
Bagaimana kau lewati harimu? Bagaimana usaha gapai (aku yang) masa depanmu? Berat, ya? Tak pernah ada yang katakan itu akan mudah jika perihal yang mendatang. Namun, ingat, yang mendatang menanti. Jangan pernah nikmati tiap jatuhmu. Terus berjuang, kumohon.
Bayangan tentang yang mendatang jadikan saja semangatmu.
Miliki selalu pelukan di tengah hingar bingar perseteruan isi pikiran.
Miliki selalu genggam yang menguatkan, bukan melepaskan.
Miliki selalu hati yang mengerti, tidak memaksakan.
Miliki selalu dekap yang tak pernah membiarkan, tapi mengiringi sampai tujuan.
Pun ingat, miliki selalu senyum yang menjadi hangat sekaligus sejuk.
Saling memenangkan. Saling menyelamatkan.
Masa yang menyenangkan. Masa yang menenangkan. (Amien)

.....
Maaf, tadi kau bergumam apa? Aku sendiri bagaimana?
Pun di sini sama: tak mudah. Namun, entah, manjakan lelah juga jenuhku tak pernah lebih menggiurkan dari perjuangkan masa depanku (yang ada kamu).
Kerahkan seluruh kemampuan 'tuk cipta kemampuan yang lebih pantas.
Biarkan dulu saja lah aku. Semuanya untukmu, tahukah?
Murni bukan untukku berbangga, melainkan untukmu berbangga, setelah orangtuaku. Karena sungguhlah, kemampuan sebenarnya bukan ajang perempuan (sepertiku) untuk menyombongkan diri, tapi 'tuk menggandeng tangan laki-laki(ku) agar tak kerepotan sendiri. Karena masa depan sudah tentang dua orang, bukan?
Mengerti, ya, kumohon.
“The woman is the reflection of her man.” — Brad Pitt
Bacanya buatku malu (dan tidak pantas). Entah, kamu yang (semoga) baik akhlak, hati, juga imannya, akan dikatakan apa jika berdamping aku? Bahkan aku akan bingung setengah mati jika Tuhan tetap pilihkan aku untukmu.
Akhlakku masih jauh dari sempurna, lalu bagaimana bisa aku dipilih Tuhan 'tuk jadi pendampingmu?
Bacaanku masih fiksi kacangan dan bukan Al-Qur'an, lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi tuntunan bagi anak-anakmu?
Tubuhku masih belum terjaga sempurna, lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi rumah yang aman bagimu?
Hatiku masih penuh dengan iri pula angkuh, lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi penyejuk hatimu?
Tanganku masih malas bantu sesama, lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi tangan kananmu bangun rumah tangga?
Telingaku masih suka dengar yang jahat, lalu bagaimana mungkin aku bisa menjadi pendengarmu yang baik?
Lisanku masih suka banyak bicara pula berkata tak layak, lalu bagaimana mungkin aku pantas menjadi pelipur laramu?
Masih jauh perjalananku agar pantas menjadi pendampingmu. Bersabarlah, kumohon.
Mari anggap ini menyenangkan, menunggu janji-Nya yang tak pernah ingkar, dalam usaha menjadi ikhlas dan taat.
Aku hanya harap, semoga kita ada dalam satu ego nanti: ingin saling memiliki, selamanya.

Sungguhlah, bukan aku diam, Dia tahu betapa aku selalu ribut dan berisik memintamu dalam sujud panjang di akhir rakaat.
Pun bukan aku diam, hanya saja takdir masih menuntut kita 'tuk berjalan lebih lama.

Kau pun tahu, menemukan hanyalah perihal waktu.
Namun, keyakinan justru yang nyatanya bukan perkara waktu. Keyakinan bahwa masing-masing adalah yang terbaik untuk masing-masing.
Karena pada akhirnya hidup memang hanya perihal mencari jalan terbaik menuju mati, juga yang terbaik sebelum mati.
Sekarang kutanya, apa yang ingin kau capai dalam hidup?
.....
.....
Kalau aku, jadi yang kau gapai sebelum mati. :)

Sekian dulu, sudah larut. Selamat tidur, Tuan.
Aku akan sedia di sisi ragamu suatu masa, setiap lelapmu, pun terjagamu.
Dan jadilah satu yang kubangunkan Subuh-nya, lalu jadi Imamku, selamanya...

Tertanda, Rumahmu.
 
Beaytifully Odd, Apa Kabar?. http://ayagz.blogspot.com/2013/06/apa-kabar.html. Diakses pada tanggal 7 Juli 2013, Pukul 19.24.

Kamis, 04 Juli 2013

Mati

Di saat saya sedang ingin ini itu.

Milyaran sel dalam otak sibuk mengkalkulasi cara tercepat yang dapat ditempuh.


Di saat mata dibutakan duniawi, hati jauh dari Sang Khalik.

Cepat kulaksanakan sembahyang, lisan tak sedia lantunkan ayat Qur'an.


Di saat hidup sedang datang tanpa makna.

Buang apa yang kausebut tujuan, mimpi, visi, cita-cita.


--

Di saat yang sama, jerit isak menyeruak. Kupertajam dengar untuk mencari tau alasan lengkingan-lengkingan tersebut. Katanya ada yang meninggal.

Coba gerakkan kakiku yang terlanjur kaku. Bukan saja kaki, tapi raga. Ragaku menolak untuk bergerak. Terpana kulihat pemandangan di depan mata: seorang wanita baya tergopoh-gopoh datang berlinang air mata, berteriak menghampiri wanita muda yang begitu dengar membalas dengan jeritan pula. Keduanya kemudian berlari, menghilang dari jangkauan mata, menangis.

Wanita baya itu saudari nenekku, sementara wanita muda yang dijemputnya adalah menantunya. Keduanya menangis karena menantu wanita baya yang lain, istri dari ipar si wanita muda, berpulang ke sisi Yang Maha Kuasa. Keduanya tinggal bersama keluarga besar mereka di samping rumah nenek, yang tidak berapa lama kemudian memperdengarkan jerit yang berbeda. Jerit yang lebih menyayat; jerit anak-anak yang kehilangan ibunya.

Namanya Teh Emi. Ya, meski seharusnya aku memanggilnya bibi, aku lebih suka memanggilnya demikian. Ia seorang ibu muda dari lima anak yang tangguh. Ia banting tulang, mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan untuk membantu suami menghidupi keluarga mereka. Seorang wanita yang ramah, namun tegas. Sosok yang mampu mendidik anak. Ketika ia menawarkan barang jualan ke rumah-rumah, ia bawa dua anaknya yang paling kecil. Yang satu dalam gendongan, yang satu ia tuntun ketika berjalan. Beda usia keduanya tidak begitu jauh. Aku tidak begitu ingat siapa saja anak-anaknya. Hanya yang paling besar yang paling kukenal, karena dulu adikku sering bermain dengannya. Kubayangkan jerit tadi keluar dari lima anaknya yang masih kecil, yang tertua saja SD belum rampung.

"Sekarang abang nggak punya ibu."

Kudengar nenek bercerita mengenai isak Naufal, yang biasa dipanggil Abang, anak lelaki Teh Emi yang tertua. Nenek menjawab Abang dengan halus, "Nabi Adam saja tidak punya ibu."

Anaknya yang tertua kedua (atau ketiga), Syamil, menjerit-jerit meminta jenazah sang ibu diantar dari Depok untuk dimandikan dan dikuburkan di kampungnya. Teh Emi yang syarafnya terjepit dirawat di Depok berminggu-minggu, tak sadarkan diri. Aku pun baru mengetahui hal tersebut kemarin, itupun sekilas dan hanya tahu sebatas beliau dirawat, tanpa tahu apa penyakitnya dan bagaimana keadaannya. Sungguh kukira hanya penyakit biasa, karenanya kuanggap berita tersebut angin lalu.

Teh Emi masih mengunjungi rumah nenek saat lebaran tahun lalu, masih terlihat begitu sehat dan bersemangat. Aku masih tidak percaya beliau tidak akan datang lagi di lebaran mendatang. Miris kubayangkan lima anaknya datang tanpa ibu mereka, memakan ketupat dan daging yang meskipun menjadi makanan mewah bagi mereka, mungkin akan terasa hambar. Sedih kubayangkan mereka menyuap sendiri makanan mereka, dan bisa jadi bergantian menyuapi adiknya yang paling kecil. Kepergian Teh Emi menggenapi kepergian orang kepercayaan nenek sejak dulu, Matisah, yang telah lebih dahulu pergi di tahun ini. Matisah sudah bekerja untuk nenek bahkan sebelum aku lahir, dan aku menghormati dan menyayanginya seperti nenekku sendiri. Kepergiannya yang lalu masih menyisakan perih yang sama sepanjang aku mengingatnya.

Di lebaran berikutnya, mereka berdua tidak akan datang.

Rasanya begitu cepat, namun nyata. Aku adalah salah satu dari mereka yang tidak pernah merasakan kepergian orang terdekat sejak aku dapat mengingat. Kini hatiku dipenuhi rasa takut, apa jadinya aku bila suatu saat hal ini terjadi dalam lingkaranku? Satu per satu akan pergi, that's obvious, that's only a matter of time. Tapi, siapa yang akan mendahului siapa? Aku terlalu takut untuk membayangkan. Masih banyak yang dapat terjadi hingga lebaran mendatang, dan lebaran berikutnya, lalu berikutnya lagi. Aku hanya bisa berharap kami dapat merayakannya dengan lengkap.

Kematian, dan apa yang akan terjadi setelah itu, meski sudah jelas diungkapkan dalam Al-Qur'an, tetap masih misteri bagiku. Berbahagialah Teh Emi dan mereka yang beruntung mendapat kemuliaan meninggal di hari Jum'at; kematian yang didambakan seluruh umat Nabi Muhammad.

Kini aku kembali diingatkan tujuanku dihidupkan di dunia. Untuk mati, ya, aku hidup untuk mati. Namun, apa yang kita dapat ketika mati, bergantung pada apa yang kita beri di dunia.

Rasanya kembali pula aku diingatkan cara bersyukur. Untuk apa harta kekayaan, gadget canggih, mobil dan rumah mewah, pakaian mahal, bila tak mampu cukupkan bekal untuk nanti mati?

I just want to give more,
To love more,
To cherish more,
To struggle more,
To hope more,
To do more,
To live every second of my life, meaningfully.
To not give up even a single little thing.

Terima kasih, Teh Emi, atas segala yang kau berikan selama hidup. Dan atas pelajaran berharga yang kau tinggalkan, bahkan ketika pergi. Semoga segala kebaikan dan amal ibadahmu diterima di sisi-Nya. Tenang, ya, di sana.