Kamis, 04 Juli 2013

Mati

Di saat saya sedang ingin ini itu.

Milyaran sel dalam otak sibuk mengkalkulasi cara tercepat yang dapat ditempuh.


Di saat mata dibutakan duniawi, hati jauh dari Sang Khalik.

Cepat kulaksanakan sembahyang, lisan tak sedia lantunkan ayat Qur'an.


Di saat hidup sedang datang tanpa makna.

Buang apa yang kausebut tujuan, mimpi, visi, cita-cita.


--

Di saat yang sama, jerit isak menyeruak. Kupertajam dengar untuk mencari tau alasan lengkingan-lengkingan tersebut. Katanya ada yang meninggal.

Coba gerakkan kakiku yang terlanjur kaku. Bukan saja kaki, tapi raga. Ragaku menolak untuk bergerak. Terpana kulihat pemandangan di depan mata: seorang wanita baya tergopoh-gopoh datang berlinang air mata, berteriak menghampiri wanita muda yang begitu dengar membalas dengan jeritan pula. Keduanya kemudian berlari, menghilang dari jangkauan mata, menangis.

Wanita baya itu saudari nenekku, sementara wanita muda yang dijemputnya adalah menantunya. Keduanya menangis karena menantu wanita baya yang lain, istri dari ipar si wanita muda, berpulang ke sisi Yang Maha Kuasa. Keduanya tinggal bersama keluarga besar mereka di samping rumah nenek, yang tidak berapa lama kemudian memperdengarkan jerit yang berbeda. Jerit yang lebih menyayat; jerit anak-anak yang kehilangan ibunya.

Namanya Teh Emi. Ya, meski seharusnya aku memanggilnya bibi, aku lebih suka memanggilnya demikian. Ia seorang ibu muda dari lima anak yang tangguh. Ia banting tulang, mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan untuk membantu suami menghidupi keluarga mereka. Seorang wanita yang ramah, namun tegas. Sosok yang mampu mendidik anak. Ketika ia menawarkan barang jualan ke rumah-rumah, ia bawa dua anaknya yang paling kecil. Yang satu dalam gendongan, yang satu ia tuntun ketika berjalan. Beda usia keduanya tidak begitu jauh. Aku tidak begitu ingat siapa saja anak-anaknya. Hanya yang paling besar yang paling kukenal, karena dulu adikku sering bermain dengannya. Kubayangkan jerit tadi keluar dari lima anaknya yang masih kecil, yang tertua saja SD belum rampung.

"Sekarang abang nggak punya ibu."

Kudengar nenek bercerita mengenai isak Naufal, yang biasa dipanggil Abang, anak lelaki Teh Emi yang tertua. Nenek menjawab Abang dengan halus, "Nabi Adam saja tidak punya ibu."

Anaknya yang tertua kedua (atau ketiga), Syamil, menjerit-jerit meminta jenazah sang ibu diantar dari Depok untuk dimandikan dan dikuburkan di kampungnya. Teh Emi yang syarafnya terjepit dirawat di Depok berminggu-minggu, tak sadarkan diri. Aku pun baru mengetahui hal tersebut kemarin, itupun sekilas dan hanya tahu sebatas beliau dirawat, tanpa tahu apa penyakitnya dan bagaimana keadaannya. Sungguh kukira hanya penyakit biasa, karenanya kuanggap berita tersebut angin lalu.

Teh Emi masih mengunjungi rumah nenek saat lebaran tahun lalu, masih terlihat begitu sehat dan bersemangat. Aku masih tidak percaya beliau tidak akan datang lagi di lebaran mendatang. Miris kubayangkan lima anaknya datang tanpa ibu mereka, memakan ketupat dan daging yang meskipun menjadi makanan mewah bagi mereka, mungkin akan terasa hambar. Sedih kubayangkan mereka menyuap sendiri makanan mereka, dan bisa jadi bergantian menyuapi adiknya yang paling kecil. Kepergian Teh Emi menggenapi kepergian orang kepercayaan nenek sejak dulu, Matisah, yang telah lebih dahulu pergi di tahun ini. Matisah sudah bekerja untuk nenek bahkan sebelum aku lahir, dan aku menghormati dan menyayanginya seperti nenekku sendiri. Kepergiannya yang lalu masih menyisakan perih yang sama sepanjang aku mengingatnya.

Di lebaran berikutnya, mereka berdua tidak akan datang.

Rasanya begitu cepat, namun nyata. Aku adalah salah satu dari mereka yang tidak pernah merasakan kepergian orang terdekat sejak aku dapat mengingat. Kini hatiku dipenuhi rasa takut, apa jadinya aku bila suatu saat hal ini terjadi dalam lingkaranku? Satu per satu akan pergi, that's obvious, that's only a matter of time. Tapi, siapa yang akan mendahului siapa? Aku terlalu takut untuk membayangkan. Masih banyak yang dapat terjadi hingga lebaran mendatang, dan lebaran berikutnya, lalu berikutnya lagi. Aku hanya bisa berharap kami dapat merayakannya dengan lengkap.

Kematian, dan apa yang akan terjadi setelah itu, meski sudah jelas diungkapkan dalam Al-Qur'an, tetap masih misteri bagiku. Berbahagialah Teh Emi dan mereka yang beruntung mendapat kemuliaan meninggal di hari Jum'at; kematian yang didambakan seluruh umat Nabi Muhammad.

Kini aku kembali diingatkan tujuanku dihidupkan di dunia. Untuk mati, ya, aku hidup untuk mati. Namun, apa yang kita dapat ketika mati, bergantung pada apa yang kita beri di dunia.

Rasanya kembali pula aku diingatkan cara bersyukur. Untuk apa harta kekayaan, gadget canggih, mobil dan rumah mewah, pakaian mahal, bila tak mampu cukupkan bekal untuk nanti mati?

I just want to give more,
To love more,
To cherish more,
To struggle more,
To hope more,
To do more,
To live every second of my life, meaningfully.
To not give up even a single little thing.

Terima kasih, Teh Emi, atas segala yang kau berikan selama hidup. Dan atas pelajaran berharga yang kau tinggalkan, bahkan ketika pergi. Semoga segala kebaikan dan amal ibadahmu diterima di sisi-Nya. Tenang, ya, di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar