Senin, 10 Juni 2013

Seberapa Pantas, Wahai Pemimpin?

"Tidak ada seorang pun pemimpin yang merasa pantas menjadi pemimpin."


Sebuah prinsip yang saya pegang, setidaknya selama empat tahun belakangan. Alasannya? Pertama, saya dihadapkan pada kondisi kepemimpinan di Indonesia dari contoh yang paling sederhana: Pilpres. Dua tahun sebelum masa pemerintahan inkumben usai, sudah ada yang berani mendeklarasikan kesiapannya untuk maju ke bursa pencalonan. Berlomba-lomba pencitraan, di saat, beberapa dari mereka bahkan masih memegang posisi penting di lembaga pemerintahan. Dan calonnya? Itu lagi, itu lagi. Yang sudah pernah menjabat, lalu lengser, mencalonkan lagi. Yang sejak dulu gagal, pun, kembali mencalonkan diri.

Sebegitu merasa pantasnya kah mereka?

Carut-marut. Jika semua orang dalam sistem ingin menjadi pemimpin, siapa yang tersisa untuk dipimpin? Masih tentang fenomena pilpres, anggap, satu calon akhirnya terpilih menjadi presiden. Yang selalu terjadi, sejak dulu hingga sekarang, keberasilan presiden tersebut akan selalu menggiring mereka yang terkalahkan ke pencarian celah. Contoh yang paling sederhana (lagi)? Media. Seberapa sering Anda mendengar media membawa berita keberhasilan pemerintahan? Setiap detik, setiap saat, rakyat disuguhkan dengan isu yang sama. Korupsi. Kemiskinan. Ketidakmerataan pembangunan. Lalu, ketika pemerintahan gagal? Lebih-lebih lagi. Hujatan di mana-mana, dan yang "termenggelikan", kritik tidak hanya ditujukan untuk konteks kinerja. Kepribadian, pun, menjadi bahan gunjingan. Ya, media. Alat paling mudah untuk menjatuhankan pemerintahan. Apalagi, media yang paling vokal hingga saat ini, tahu sendiri, milik siapa. Jangankan pemerintah, rakyat juga gerah.

Kembali lagi dalam konteks kepemimpinan. Apabila mereka, orang-orang yang merasa pantas menjadi pemimpin itu, tulus ingin membawa negeri ini ke arah yang lebih baik, mengapa harus selalu menjadi yang kontra? Berbicara di luar kepentingan politik--jika memang pemerintah benar, mengapa tidak dibantu sebagai upaya penyempurnaan sistem? Lain hal jika memang pemerintah salah, silakan dikritik, bukan dijatuhkan. Mau tetap menjatuhkan? Boleh, asal bawa solusi.

Oke...... Sejujurnya ini sudah amat melenceng dari tujuan awal saya menulis. Intinya, ketidakpuasan saya akan negara-yang-dipimpin-oleh-mereka-yang-merasa-pantas-menjadi-pemimpin itulah, yang membentuk stigma saya mengenai pemimpin. Namun, jika semua pemimpin merasa tidak pantas menjadi pemimpin, lalu siapa yang akan menjadi pemimpin?

Hal tersebut saya temukan jawabannya ketika SMA. Seorang sahabat saya, yang memiliki kapabilitas luar biasa sebagai pemimpin, menolak untuk maju dalam pemilihan ketua suatu organisasi. Padahal, satu isi sekolah tahu jelas bahwa hanya dia satu-satunya orang yang mampu memimpin pada saat itu. Hingga akhirnya, semua orang bersuara untuknya. Satu per satu mendatanginya, bahkan memohon padanya. Kurun waktunya cukup lama sampai ia akhirnya memutuskan untuk maju. Dan, hasilnya, menang mutlak.

Dia selalu mengatakan kepada saya bahwa ia tidak pernah merasa pantas menjadi pemimpin. Meskipun, sebenarnya, sejak awal dia memiliki gambaran konsep dan nilai-nilai yang ingin ia terapkan dalam organisasi yang bersangkutan. Hanya saja, menjadi pemimpin organisasi tersebut adalah hal yang jauh dari ekspektasinya. Jauh sekali, hingga akhirnya ia disadarkan oleh sekian banyak orang yang menaruh harapan padanya, yang mempercayainya, yang membutuhkannya. Dan pada akhirnya, ia mendengarkan apa yang mereka katakan dan apa yang ada dalam hatinya. Dan jadilah ia, pemimpin terbaik yang pernah saya temukan, hingga saat ini.




Maka, jadilah pemimpin adalah seorang yang tidak pernah merasa pantas dirinya menjadi pemimpin. Hingga dia memutuskan untuk mengalahkan rasa rendah dirinya, untuk rakyat yang menaruh harap padanya.

Itulah definisi pemimpin yang teguh saya pertahankan hingga... saya dihadapkan pada realita kampus.

Kasus sahabat saya di atas, mungkin contoh satu dari seribu kasus. Di mana, jumlah pemilik hak suara cenderung lebih sedikit, dan interaksi memungkinkan mereka untuk mengenal sosok calon pemimpin lebih efektif. Tetapi bagaimana dengan kampus, lingkungan yang jauh lebih besar dan plural? Bisa jadi ada seorang yang potensial, yang sejak awal merasa dirinya tidak pantas menjadi pemimpin, akhirnya justru lebih memilih untuk diam. Sulit baginya untuk mengetahui seberapa pantas dirinya dari sudut pandang orang lain karena, kembali lagi, lingkungan yang begitu luas--suara tidak akan dapat ditampung apabila ia tidak vokal menyuarakan kesiapannya. Pada akhirnya, seorang pemimpin harus memiliki kepercayaan akan dirinya sendiri sebelum membuat orang lain percaya padanya. Kini, pandangan saya tidak lagi negatif pada mereka yang maju dalam pencalonan.

Ada satu hal yang saya percaya sampai mati: amanat tidak pernah salah memilih tuannya. Jika amanat memilihmu, maka kau memang ditakdirkan mampu. Dan saya yakin, siapapun yang maju dari hatinya, dengan niat yang tulus untuk membawa perubahan yang lebih baik, dia lah sosok pemimpin yang dicari.

Semoga Indonesia tidak pernah kehabisan generasi pemimpin yang demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar