Senin, 11 Maret 2013

Hasta Siempre, Comandante

Well, this is my very first writing as a staff. You can read others either by clicking Kastrat BEM FEUI's official blog page or simply following this site. Sorry for any error occured, I'm currently learning. Happy reading!

Oleh: Hazna Nurul Faiza

58 tahun yang lalu, sesosok bayi keturunan kaum papa pinggiran lahir di Sabaneta, Venezuela. Enam tahun setelahnya, menyadari tidak ada lagi yang dapat keluarganya makan, ia turun ke jalan mencari nafkah dengan berjualan permen. Jika kemiskinan diibaratkan sebagai samudera ganas yang menempa seorang nelayan menjadi pelaut yang handal, bisa jadi kemiskinanlah yang membuat bocah tersebut menjadi tokoh dunia abad ke-21. Ialah dia, satu-satunya pemimpin yang menyebut mantan presiden Amerika Serikat, George W. Bush, sebagai iblis pada Majelis Umum PBB tahun 2006, di saat seluruh dunia bertekuk lutut di bawah kekuasaan Paman Sam. Ialah dia, yang berani mengusir Duta Besar Israel bagi Venezuela segera setelah negara tersebut melanggar resolusi PBB mengenai sengketa dengan Palestina. Ialah dia, yang mampu mengentaskan kemiskinan rakyat Venezuela lebih dari 75% dalam 10 tahun pemerintahan. Ialah dia, yang kematiannya menimbulkan pergerakan kenaikan harga minyak dunia sebesar 0.6 dollar per barrel. Ialah dia, yang dikatakan Presiden Barzil, Dilma Roussef, sebagai pemimpin bagi Amerika Latin. Ialah dia, yang kehadirannya di muka bumi disamakan dengan tokoh legendaris Simon Bolivar. Ialah dia, yang menghentikan “penindasan” kapitalisme hasil dominasi elite kulit putih selama ratusan tahun hingga dekade 1990-an di negeri penghasil minyak kedua terbesar di dunia. Ialah dia, Hugo Chavez.

“Harus mengalami penderitaan rakyat untuk dapat menjalankan pemerintahan yang memahami rakyat.”

Mungkin hal tersebutlah yang dialami Hugo Chavez, pelopor kepemimpinan sayap kiri di Amerika Latin. Kemiskinan yang menjerat keluarganya dan jutaan rumah tangga lain keturunan kaum papa—mayoritas terpinggirkan di Venezuela—membuatnya hidup dengan satu impian akan perubahan. Ia pertama kali menapaki perjalanan menuju mimpinya dengan masuk Akademi Militer Venezuela dan lulus pada tahun 1975. Selama belasan tahun ia berkarier sebagai penerjun payung dan guru akademi, selama itu pula ia mengkritik keras setiap tindak-tanduk kebijakan penguasa Venezuela. Ia pun kemudian melanjutkan studi ilmu politik di Universitas Simon Bolivar meskipun tidak sampai rampung. Puncaknya, pada tahun 1992, Chavez memimpin kudeta terhadap presiden kala itu, Carlos Andres Perez. Sayang, kudeta tersebut gagal dan ia pun berakhir di penjara meski hanya membutuhkan satu tahun hingga akhirnya Perez diberhentikan dari jabatannya. Lepas dari jeruji besi, Chavez mulai mengkampanyekan apa yang ia sebut “Bolivarianisme” dengan poin-poin inti seperti anti-imperialisme, swasembada ekonomi, dan kedaulatan Venezuela. Pendapatan negara melalui minyak bumi juga menjadi salah satu perhatiannya. Ia percaya bahwa apa yang dihasilkan dari bumi tanah airnya adalah hak warga negaranya yang harus terdistribusi secara merata.

Tindak-tanduk Hugo Chavez

Tahun 1998 menjadi tahun kemenangan Hugo Chavez dengan 56% suara. Ia memulai pemerintahan dengan mengambil kebijakan Pemenuhan Hak Dasar seperti pangan, sandang, dan papan. Ia menyelamatkan rakyat Venezuela dengan memberantas kemiskinan yang sebelumnya 11,36% menjadi 6,79% dalam sepuluh tahun. The Great Housing Mission (GMVV) adalah kebijakan Chavez yang lain, di mana pemerintah menyediakan rumah untuk keluarga berpenghasilan rendah dan berpenghidupan tidak layak. Pada September 2012, pemerintahan Chavez telah berhasil memberikan lebih dari 250.000 unit rumah untuk warganya yang miskin. Penghematan saat krisis yang dilakukan hampir seluruh negara di dunia tidak ikut dilakukan Venezuela. Sebaliknya, negara tersebut melakukan belanja pemerintah besar-besaran untuk misi-misi sosial, seperti pemberantasan buta huruf, pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Chavez juga melucuti bisnis-bisnis hasil kerjasama dengan Amerika Serikat dan Eropa yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Itulah mengapa elite bisnis menjadi salah satu kalangan yang kerap berseteru dengan pemerintahan yang ia pimpin. Chavez tampil sebagai sosok yang menasionalisasi aset-aset perusahaan minyak internasional yang beroperasi di Venezuela. Bukan saja nasionalisasi, ia juga menurunkan angka ekspor hasil minyak negaranya yang pada awal tahun 2000 mencapai tiga juta barrel per hari menjadi tinggal 1,7 juta barrel per hari pada tahun 2011. Di sisi lain, ia berani mengganti nama negaranya menjadi Republik Bolivarian Venezuela.  

Nama Hugo Chavez tidak kalah sering disebut sebagai sosok yang sering melakukan manuver politik nasional maupun internasional. Presiden Venezuela ke-53 ini adalah pimpinan “Revolusi Bolivarian” yang merupakan titik balik pembelaan kaum miskin Venezuela dengan sistem sosialis yang kental. Meski dicap sebagai salah satu pemimpin haluan kiri, Chavez dikenal bukan sebagai sosok yang memperkaya diri dengan otoritas yang dimilikinya. Ia jauh dari karakter Husni Mubarak dari Mesir, misalnya, meskipun tidak dapat dipungkiri berbagai kebijakan yang ia hasilkan seringkali membuat pihak oposisi gigit jari. Upaya oposisi untuk menurunkan Chavez dari jabatan presiden sudah berkali-kali dilakukan, mulai dari referandum hingga kudeta. Namun tetap saja, suara rakyatlah yang pada akhirnya pun selalu mengembalikan Chavez ke tahta. 

Di mancanegara, Chavez terkenal bukan hanya sebagai pemimpin yang mampu membawa kemakmuran bagi negerinya, namun juga sosok yang kerap menimbulkan kontroversi. Dimulai dari gebrakannya membentuk “Gerakan Republik Kelima” yang berisi negara-negara penganut sistem sosialis demokratis—yang kemudian ia sebut sebagai “Sosialisme Abad 21”. Venezuela banyak membantu negara-negara yang memiliki garis sistem yang sama dengannya, sebut saja Kuba yang telah menerima bantuan milyaran dollar AS selama pemerintahan Chavez. Negara lain di kawasan Amerika Latin juga tidak lepas dari pengaruhnya. Bolivia menunjukkan penurunan angka kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan semenjak Evo Morales menjadi presiden di tahun 2006. Hal tersebut tidak lain adalah karena Morales melakukan nasionalisasi perusahaan yang sama dengan yang dilakukan Chavez. Dapat dikatakan, Chavez adalah mentor dan pendukung Morales di balik kemajuan Bolivia. Ia membangun aliansi yang kuat bukan hanya dengan negara yang secara eksplisit berpaham dan berkeyakinan sama, Iran misalnya. Belasan kali sudah Chavez mengunjungi presiden Iran, Mahmoed Ahmadinejad, dan terhitung enam kali pula presiden Iran mendatangi Venezuela untuk bertemu Chavez. Partner Venezuela berdatangan bukan hanya dari kubu Amerika Latin seperti Kuba, Argentina, Bolivia, dan Brazil, namun juga dari negara-negara muslim lain seperti Suriah dan Libya. Negara-negara Eropa, katakanlah Inggris, Spanyol, Italia, dan Portugal, dan blok sosialisme keras, Cina dan Rusia, pun termasuk ke dalam kubu Chavez. Untuk penduduk miskin dunia, Chavez menjatahkan 8% dari APBN Venezuela untuk segala investasi luar negeri, bantuan, maupun subsidi. Begitupun saat tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004, Venezuela memberikan bantuan senilai dua juta dollar AS. Petro Caribe adalah program pemerintah Venezuela yang ia ciptakan untuk membantu pemenuhan kebutuhan minyak negara-negara kecil di Karibia dengan jumlah 200.000 barrel per hari. Di sisi lain, Chavez juga membentuk ALBA dan CELAC sebagai blok yang akan melakukan pengentasan orang miskin sekaligus penolakan terhadap Amerika Serikat. Ia menolak perjanjian-perjanjian perdagangan kapitalis dan privatisasi. Gerakan Chavez yang terbilang berani inilah yang mampu membungkam negara adidaya semacam Amerika Serikat.

Pasca Meninggalnya Chavez

Iring-iringan sejauh delapan kilometer ditempuh warga Venezuela dengan berjalan kaki, tidak lupa disertai isak tangis. Tidak, bukan tangis yang dibuat-buat seperti yang terjadi di Korea Utara sepeninggalan pemimpinnya, tetapi tangis yang secara alami mengalir dari mata rakyat yang kehilangan sosok pemimpin. Rakyat yang kehilangan pemimpin yang berhasil mengambil hati mereka bukan hanya dengan orasi, namun juga bernyanyi dan menari bersama. Tidak hanya di negeri sendiri, dukacita dan belasungkawa mengalir dari berbagai belahan bumi—mulai dari Vladimir Putin hingga Barack Obama. Jangan heran jika Argentina dan Kuba menetapkan tanggal 5 Maret lalu sebagai hari berkabung nasional. Terlebih lagi, rakyat Amerika Latin menganggap kematian Chavez akan membawa perubahan yang tidak diinginkan di kawasan tersebut. Tepat sehari setelah meninggalnya Chavez, Presiden Bolivia Evo Morales, Presiden Argentina Cristina Kirchner, dan Presiden Uruguay Jose Mujica telah berada di Caracas, Venezuela. Meninggalnya Hugo Chavez membuat kondisi politik di Venezuela jadi tidak menentu. Rakyat, partai penguasa, maupun partai oposisi dibuat cemas akan proses transisi kekuasaan yang mau tidak mau telah berada di depan mata. Belum sampai seminggu, tindak kekerasan berbau politik sudah beberapa kali terjadi di Venezuela. Ketidakpastian juga terjadi dalam geopolitik migas yang menyebabkan kenaikan harga minyak dalam jangka pendek meskipun tidak begitu signifikan. 

Meskipun begitu, meninggalnya Chavez tidak serta merta menjadi kesedihan untuk semua orang. Mereka yang sejak awal menaruh rasa tidak suka pada Chavez terang-terangan mengatakan bahwa kepergian Chavez justru akan membawa angin segar dalam perdagangan, terutama ekspor minyak yang menjadi komoditas utama Venezuela. Kepergiannya juga dianggap sebagai babak baru yang dapat meminimalisasi gerakan anti-AS di berbagai negara yang sebelumnya Chavez timbulkan. Beberapa mengatakan bahwa meninggalnya Chavez dapat membawa suasana yang lebih demokratis di Venezuela seiring penurunan pengawasan terhadap media dan penegakan peradilan hukum yang tidak dapat terlaksana di masa Chavez berkuasa. Adalah hal yang mungkin jika perusahaan-perusahaan asing kembali datang ke Venezuela untuk mengambil alih lahan yang sebelumnya direbut “paksa”. Kaum elite bisnis bisa jadi pihak yang digembirakan, Lorenzo Mendoza, misalnya. Dialah orang terkaya kedua di Venezuela, pemilik perusahaan bir dan bahan makanan yang kerap berseteru dengan Chavez. Pihak lain bisa jadi adalah orang terkaya di seluruh Venezuela dengan kekayaan senilai US$ 4,4 milyar, Gustavo Cisneros, yang stasiun tv miliknya dipaksa terus menawarkan konten hiburan selama Chavez menjabat. Kini, Cisneros bisa saja mengembalikan Venevision—stasiun tv terbesar dengan 67% pemirsa Venezuela—ke ranah politik. Berbagai kabar bermunculan seiring bertambahnya pemberitaan mengenai kematian Chavez dan pengusiran dua atase militer AS. Wakil presiden Venezuela, Nicolas Maduro, mengatakan bahwa kematian Chavez adalah hasil konspirasi musuh yang sebelumnya sudah dengan sengaja memasukkan virus kanker ke tubuh Chavez. Meski begitu, belum ada bukti yang cukup untuk menindaklanjuti tuduhan tersebut.

Indonesia dan Venezuela

Kebangkitan Venezuela dengan munculnya seorang figur memunculkan satu pertanyaan yang tidak terbantahkan: Kapan giliran Indonesia? Haruskah kita menunggu, atau menciptakan figur?

Revolusi Bolivarian adalah momentum bagi rakyat Venezuela yang selama ratusan tahun terperangkap dalam “kolonialisme”. Hugo Chavez datang dari kalangan bawah, menggulingkan dominasi elite putih, dan berhasil membawa perubahan bagi Venezuela. Terlepas dari sistem yang ia gunakan dalam pemerintahan, Chavez berhasil mewujudkan apa yang menjadi jati diri bangsanya. Baginya, sosialisme adalah cara yang paling tepat untuk memberantas endemik yang terlanjur menyebar dalam tubuh negerinya. Ia berani bermanuver, melakukan gebrakan, dan menentang Amerika Serikat. Semuanya berasal dari mimpi kecil yang berawal dari kekagumannya akan seorang Simon Bolivar, dan ia menemukan bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Chavez tidak hanya membawa angin segar untuk rakyat Venezuela, tetapi juga dunia. Ia membuktikan bahwa sosialis bukanlah komunis, dan kapitalis tidak selalu modern dan benar. Ketika masyarakat miskin yang menjadi fokusnya, ia tegakkan tubuhnya, luruskan pandangannya, tegapkan bahunya, siap menjadi tempat mereka untuk bersandar. Barangkali ia berpikir, jika bukan dirinya, siapa lagi? Adalah George Galloway, salah seorang anggota parlemen AS yang tengah berada di Venezuela saat berlangsungnya pemilu presiden pada Oktober 2012. Saat itu, ia tergabung dalam kubu oposisi yang menentang naiknya kembali Chavez ke kursi kepresidenan. Berbulan-bulan setelah itu, ia memaki seorang mahasiswa Oxford yang secara frontal mengatakan bahwa Chavez tidak lain hanyalah seorang diktator. Rupanya, pengalamannya di Venezuela membawa Galloway pada kesimpulan yang 180 derajat berlawanan dengan persepsi awalnya. “Chavez is the most democratic politician on the earth,” ujarnya. Selamat tinggal, Hugo Chavez.

Indonesia tidak membutuhkan seorang Hugo Chavez. Indonesia membutuhkan seseorang dengan semangat yang sama. Tanpa kita sadari, perlahan-lahan, kapitalisme telah merasuki seluk beluk kehidupan kita. Hasilnya? Distribusi pendapatan makin timpang, kesejahteraan rakyat dinomorduakan. Dan anehnya, kita semua masih diam. Indonesia tidak dibangun untuk wadah kapitalisme maupun sosialisme. Indonesia dibangun dengan nilai dan cita-cita yang luhur, Pancasila. Sayangnya, konsep Pancasila hingga abad ini hanya sampai kepada lima nilai yang wajib dihafalkan sejak sekolah dasar. Jangankan diaplikasikan dalam sistem ekonomi ataupun pemerintahan, apa yang disebut “pengamalan sehari-hari” saja masih terlupakan. Pengaplikasian yang masih tabu itulah yang membuat kita harus mengakui, nilai-nilai Pancasila, mau tidak mau, disengaja ataupun tidak, pasti akan menjurus ke salah satu dari dua aliran ekstremis: kapitalis atau sosialis. Mana yang terbaik untuk bangsa?

Tidak ada yang salah dengan galau memikirkan nilai, kepanitiaan, atau pacar sekalipun. Bukankah memang begitu normalnya anak muda? Namun, alangkah lebih baiknya jika Anda menambah satu lagi alternatif bahan penggalauan: negara ini, Indonesia.

Bangsa ini sedang sekarat, kawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar