Minggu, 07 Juli 2013

"If you could do magic, what part of this Nation will you change?"

Well, Dinar. I don't really think I have a proper answer for this question.

Negara ini tidak pernah ditakdirkan miskin, satu hal yang saya percaya. Namun, ada frase yang hilang. Biasanya kalimat tersebut diikuti "...tetapi berada di tangan yang salah."

Hei, dulu saya salah satu orang yang meyakini mati kalimat tersebut. Pikiran dan hati saya menggebu-gebu ketika memikirkan negeri ini, membayangkan how great this nation is gonna be ketika generasi saya--kita--memimpin. Saya begitu merasa percaya diri, seolah-olah tangan saya bukanlah satu dari 'tangan yang salah' tersebut. Kemudian...

Saya mulai bertemu orang-orang hebat. Akademisi. Politisi. Pengusaha. Menteri. And know what? Saya mulai berpikir dua kali. Mereka orang yang hebat, benar-benar hebat. Mereka pintar, kritis, visioner, tulus, lontarkan saja semua pujian. Lalu, bagaimana mungkin negeri ini masih seperti ini di tangan mereka? Di tangan orang yang, setelah saya temui, saya yakini bukan tangan yang salah.

Naif sekali, pikir saya, jika saya pikir tangan saya lebih 'benar' daripada mereka. Ada ungkapan lain yang bilang, "Semua orang pintar di Indonesia sudah dan akan pergi. Jika Anda masih tinggal karena merasa dapat merubah negeri ini, maka Anda adalah orang yang naif." Dulu saya mati-matian menentangnya. Dan kini, semakin banyak tahu, saya pun kembali berpikir dua kali.

Apakah saya orang yang naif? Untuk berpikir tangan saya mampu memangku 240 juta penduduk dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote? Untuk memimpikan diri saya bertahan di negeri ini, dengan harapan membawanya ke arah yang lebih baik? Saya yang dulu akan menjawab, tidak, saya bukan orang yang naif. Berpikir seperti itu bukanlah hal yang naif.

Saya yang sekarang akan menjawab, ya, saya orang yang naif, tetapi saya tidak peduli.

Saya yang dulu hanyalah bocah yang terbuai mimpi, yang polos, yang tidak tahu apa-apa. Sekarang, bukannya saya tahu segala hal, hanya saja saya mulai dapat melihat dan merasakan apa itu keputusasaan yang dibawa sesuatu bernama realita. Saya sempat ingin menyerah dan mencoba realistis, ayolah buka mata! Merubah negeri ini bukan hal yang mudah. Hingga salah satu sahabat saya berkata,

"Dihadapkan dengan yang seperti ini, bukannya sudah banyak yang menyerah? Kalau menyerah sekarang, apa bedanya kamu dengan mereka?"

Saya pun mulai hilang arah dan mencari kembali diri saya yang dulu, si bocah penuh harapan. Dan, tara! Saya menemukan ini, beberapa bait dari pidato saya di kelas Bahasa semasa kelas 3 SMA dulu.

"...Bayangkan hal ini terjadi pada beribu-ribu keluarga lain. Warga komplain, pemerintah tidak menanggapi, warga kehilangan kepercayaannya, warga apatis. Bukannya siklusnya akan seperti itu? Di saat yang sama, warga lain turut menyalahkan pemerintah. Entah mengenai reshuffle kabinet, pembebasan walikota Bekasi dari jerat korupsi, kerusuhan Freeport, ataupun berbagai kasus lainnya. Alih-alih pemerintah sadar atas kicauan warganya, dengan santai mereka membalik keadaan dengan melontarkan kalimat bijak JFK, 'Don't ask what your country can do for you. But ask what you can do for your country.' Pada akhirnya, siapa yang patut dipersalahkan? Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, tentu karena pertanyaannya saja sudah salah.

Bangsa ini baru akan kokoh apabila para pemimpinnya mulai memberi dan berhenti meminta pamrih, sementara rakyatnya berhenti menyalahkan dan mulai berkontribusi.


Pertanyaan yang sebenarnya, kapan kita mau memulai?"

Saya melupakan diri saya yang pernah menulis demikian. Saya melupakan problema mayor di Indonesia yang ditemukan oleh diri saya yang penuh harapan dan optimisme. Diri yang jauh berbeda dengan saya yang sudah cukup menelan realita pahit.

Sekarang saya tahu kondisinya. And I don't wanna lose my faith. I choose to live my old dream, meskipun hal tersebut akan membuat saya terlihat naif.  
And I'll definitely make it real.
Tidak, saya tidak merasa memiliki tangan yang 'benar'. I will just simply struggle to have one, that's worth a try, isn't it? Ya, saya naif karena tidak pernah sekalipun terpikir di benak untuk tinggal di tanah orang lain. Tapi saya adalah orang yang akan membuat mereka yang telah pergi merasa lebih naif, karena apa yang mereka harap akan dapat di luar sana tidak akan lebih besar dari apa yang akan mereka dapat apabila tinggal. Merasa naif untuk mencari keluar sesuatu yang sebenarnya negeri ini dapat beri lebih.

I'm currently facing the real world.
I have once lost hope.
I have once given it up.
But I believe, this should be right.
To gather new hopes,
And make it happen.
I'm not afraid anymore.

--

 

Harapan.

That's my answer, Din.

1 komentar:

  1. Ah, so beautifully answered! Thank you Na! Will definitely link this to my blogpost!<3

    D

    BalasHapus