Sabtu, 13 April 2013

Teruntuk Mama

Hari ini bisa jadi adalah hari teraneh--dan, termenyesakkan--sepanjang aku hidup. Bukankah tiap kali aku pulang, kau selalu menyambutku di depan pintu? Kau tidak pernah mengatakannnya secara lantang, tapi aku tau kau sengaja memasakkan makanan kesukaanku tiap kali aku datang. Lalu, malamnya kau pasti muncul di ambang pintu kamarku. Perlahan-lahan masuk dan berpura-pura mengisi baterai hp-mu. Padahal, ya, aku tau... Kau hanya ingin menanyakan hari-hariku. Maka aku bercerita padamu tanpa kau minta. Kau menerima riak wajah senangku, keluh sedihku, pernyataan lelahku. Kau tidak banyak menanggapi, kau hanya diam, sembari tersenyum. Sesekali tertawa, sesekali bertanya. Dan tiap kali aku kembali meninggalkanmu, kau selalu menanyakan apa yang ingin kujadikan sarapan. Terkadang hari sebelumnya sudah kau uleni adonan donat, agar besoknya bisa kau goreng dan kujadikan asupan pagi kala masih hangat. Lalu kau menggenggam tanganku, dan merelakan aku pergi. Siangnya, aku tidak heran jika status kontakmu mengisyaratkan kesedihan. Aku tau kau merasa kehilanganku, sama halnya seperti aku merasa kehilanganmu.

Pernah suatu hari aku tiba-tiba pulang. Aku melakukan sebuah kesalahan padamu, dan juga papa. Aku malu menampakkan wajah, tapi tidak bisa juga bila semua hanya kupendam. Aku berusaha tegar, bergeming di depan pagar. Kuucapkan salam agar seseorang keluar. Ketika itulah bayangmu berpindah bagai sekelebat, dan aku sudah mendapati dirimu memeluk erat tubuhku. Hanya tangis yang tak terbendung, dan maaf yang terucap dari lisan, hanya itu yang bisa kukeluarkan. Dan kau masih berkata,

"Tidak apa, keselamatanmu di atas segalanya. Jangan khawatirkan kami, justru kami yang sedari tadi khawatirkanmu."

Masih ingat ketika malamnya pun kau setia menemani. Dan esoknya, ketika aku diharuskan untuk pergi kembali, kamu memberikanku buku sekumpulan doa.

"Baca ini tiap pagi dan petang, Allah akan selalu melindungimu."

Dan hari-hariku selanjutnya kuisi dengan doa yang kau beri, dan tangis. Tangis karena teringat bayang wajahmu, karena tau dari jauh pun kau mendoakanku. Melebihi doaku untukmu, dan doaku untuk diriku sendiri.

Kau memanjakanku dengan caramu. Kau hampir tidak pernah memelukku. Kau juga jarang menemaniku berbelanja karena terlampau sibuk mengurus anak-anakmu yang lain. Sebelum aku keluar dari rumah, terutama, berapa kali kita berbagi cerita dalam seminggu? Kau juga sering kesal dengan kebiasaan malasku bila sudah berada di atas tempat tidur. Juga apabila lebih banyak waktu yang kuhabiskan di luar dibanding di rumah. Kita juga tidak pernah foto berdua, ya? Terakhir kali foto kita diambil bersama adalah saat berkunjung ke tanah suci hampir tiga tahun lalu. Hambar, ya, ikatan kita?

Tapi aku tau kau mencintaiku lebih dari apapun. Aku tau kau bangun tiap malam hanya untuk mendoakan orang tua, suami, dan anak-anakmu. Kau mengajariku tanpa kata-kata. Diam-diam aku mengagumimu yang berhati bagaikan malaikat--begitulah yang orang lain bilang. Aku mengagumi hatimu yang tulus itu, dan berharap sedikit mewarisinya darimu. Aku juga mengagumi ketegaranmu, mengagumi wajahmu yang tidak pernah menyiratkan beban, meski kutau masalah tidak pernah berhenti menderamu. Kau dan aku sama-sama tau, gengsi kita sama-sama besar untuk saling mengungkapkan rasa sayang. Untuk itu, aku hanya diam. Diam dalam doaku di sujud terakhir tiap shalatku.

Kau harus tau, kau adalah alasanku berjuang, meski aku tidak pernah bilang. Kau-lah yang kuingat ketika putus asa sudah aku mengejar pelajaran, atau terlampau lelah menyibukkan diri dengan ini dan itu.

Hari ini, kau tidak menyambutku seperti biasa. Justru aku yang mendatangi tubuhmu yang terkapar lemah, dikelilingi dua orang ibu yang sengaja datang dari jauh untukmu. Aku yang memelukmu terlebih dahulu. Dan aku yang tidak berani menatap wajahmu karena takut air mataku turun. Aku ingin diriku kuat, agar kau pun kuat.

Tau betapa hancur hatiku ketika mendengar cerita tentangmu? Tentangmu, wanita tertegar dalam hidupku, yang kembali berubah menjadi sesosok anak kecil yang terus menangis. Yang meminta keberadaanku pada ibumu, keberadaan ayahmu, suamimu, dan anak-anakmu yang lain. Tidak bisa kubayangkan kau merengek memohon itu. Dirimu, yang tidak pernah ingin dimanja, justru tidak ingin ditinggal oleh ibu kembali ke kampung halaman. Dirimu, yang selalu mengatakan segalanya berada di tangan-Nya, putus asa karena mendengar manusia yang mendiagnosa bahwa kamu tidak akan sembuh. Tau betapa takutnya aku?

Namun, lagi, kau mengatakan "tidak apa". Semudah itu kau menyuruhku agar tidak khawatir. Padahal, sedang kupikirkan kemungkinan untukku pulang pergi mencari ilmu--agar aku tidak perlu berada jauh darimu. Agar aku dapat menjagamu.

Teruntuk mama,

Sembuh, ya? Kembali lagi seperti dulu. Tiara minta dibuatkan donat kentang, tuh. Mama juga belum mengajar aku, Uta, dan Tiara memasak, kan? Aku rindu masakanmu yang kelezatannya nomor satu itu, yang menjadi alasan kedua sahabat-sahabatku selalu datang ke rumah--atau bahkan alasan pertama? Kau juga seringkali sengaja memasak banyak, kemudian menyuruhku mengundang mereka untuk datang. Kau membiarkan mereka jatuh cinta pada masakanmu, dan juga dirimu. Kau terbiasa dengan rakusnya mereka, kau memperlakukan mereka, pun, seperti anak-anakmu. Itulah mengapa aku begitu bersyukur memilikimu, karena kau tidak keberatan saat keluarga kita menambah lagi anggota-anggotanya yang baru. Begitu juga papa, Ai, dan Ehan. Karena dengan adanya kalian, aku merasa lengkap.

Teruntuk Allah,

Kenapa mama? Kenapa orang sebaik dia? Kenapa bukan orang lain? Kenapa bukan aku saja? Ya, aku saja. Pindahkan sakitnya padaku, semuanya. Tidak bisakah?

Beri tau aku bisa apa, kumohon.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar