Well, this is my very first writing as a staff. You can read others either by clicking Kastrat BEM FEUI's official blog page or simply following this site. Sorry for any error occured, I'm currently learning. Happy reading!
Oleh: Hazna Nurul Faiza
58
tahun yang lalu, sesosok bayi keturunan kaum papa pinggiran lahir di Sabaneta,
Venezuela. Enam tahun setelahnya, menyadari tidak ada lagi yang dapat
keluarganya makan, ia turun ke jalan mencari nafkah dengan berjualan permen.
Jika kemiskinan diibaratkan sebagai samudera ganas yang menempa seorang nelayan
menjadi pelaut yang handal, bisa jadi kemiskinanlah yang membuat bocah tersebut
menjadi tokoh dunia abad ke-21. Ialah dia, satu-satunya pemimpin yang menyebut
mantan presiden Amerika Serikat, George W. Bush, sebagai iblis pada Majelis
Umum PBB tahun 2006, di saat seluruh dunia bertekuk lutut di bawah kekuasaan Paman
Sam. Ialah dia, yang berani mengusir Duta Besar Israel bagi Venezuela segera
setelah negara tersebut melanggar resolusi PBB mengenai sengketa dengan
Palestina. Ialah dia, yang mampu mengentaskan kemiskinan rakyat Venezuela lebih
dari 75% dalam 10 tahun pemerintahan. Ialah dia, yang kematiannya menimbulkan
pergerakan kenaikan harga minyak dunia sebesar 0.6 dollar per barrel. Ialah
dia, yang dikatakan Presiden Barzil, Dilma Roussef, sebagai pemimpin bagi
Amerika Latin. Ialah dia, yang kehadirannya di muka bumi disamakan dengan tokoh
legendaris Simon Bolivar. Ialah dia, yang menghentikan “penindasan” kapitalisme
hasil dominasi elite kulit putih selama ratusan tahun hingga dekade 1990-an di
negeri penghasil minyak kedua terbesar di dunia. Ialah dia, Hugo Chavez.
“Harus mengalami penderitaan rakyat untuk
dapat menjalankan pemerintahan yang memahami rakyat.”
Mungkin
hal tersebutlah yang dialami Hugo Chavez, pelopor kepemimpinan sayap kiri di
Amerika Latin. Kemiskinan yang menjerat keluarganya dan jutaan rumah tangga
lain keturunan kaum papa—mayoritas terpinggirkan di Venezuela—membuatnya hidup
dengan satu impian akan perubahan. Ia pertama kali menapaki perjalanan menuju
mimpinya dengan masuk Akademi Militer Venezuela dan lulus pada tahun 1975.
Selama belasan tahun ia berkarier sebagai penerjun payung dan guru akademi,
selama itu pula ia mengkritik keras setiap tindak-tanduk kebijakan penguasa
Venezuela. Ia pun kemudian melanjutkan studi ilmu politik di Universitas Simon
Bolivar meskipun tidak sampai rampung. Puncaknya, pada tahun 1992, Chavez
memimpin kudeta terhadap presiden kala itu, Carlos Andres Perez. Sayang, kudeta
tersebut gagal dan ia pun berakhir di penjara meski hanya membutuhkan satu
tahun hingga akhirnya Perez diberhentikan dari jabatannya. Lepas dari jeruji
besi, Chavez mulai mengkampanyekan apa yang ia sebut “Bolivarianisme” dengan
poin-poin inti seperti anti-imperialisme, swasembada ekonomi, dan kedaulatan
Venezuela. Pendapatan negara melalui minyak bumi juga menjadi salah satu
perhatiannya. Ia percaya bahwa apa yang dihasilkan dari bumi tanah airnya
adalah hak warga negaranya yang harus terdistribusi secara merata.
Tindak-tanduk Hugo Chavez
Tahun
1998 menjadi tahun kemenangan Hugo Chavez dengan 56% suara. Ia memulai
pemerintahan dengan mengambil kebijakan Pemenuhan Hak Dasar seperti pangan,
sandang, dan papan. Ia menyelamatkan rakyat Venezuela dengan memberantas
kemiskinan yang sebelumnya 11,36% menjadi 6,79% dalam sepuluh tahun. The Great
Housing Mission (GMVV) adalah kebijakan Chavez yang lain, di mana pemerintah
menyediakan rumah untuk keluarga berpenghasilan rendah dan berpenghidupan tidak
layak. Pada September 2012, pemerintahan Chavez telah berhasil memberikan lebih
dari 250.000 unit rumah untuk warganya yang miskin. Penghematan saat krisis
yang dilakukan hampir seluruh negara di dunia tidak ikut dilakukan Venezuela.
Sebaliknya, negara tersebut melakukan belanja pemerintah besar-besaran untuk
misi-misi sosial, seperti pemberantasan buta huruf, pembangunan infrastruktur,
pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Chavez juga melucuti bisnis-bisnis hasil
kerjasama dengan Amerika Serikat dan Eropa yang tidak berpihak pada rakyat
kecil. Itulah mengapa elite bisnis menjadi salah satu kalangan yang kerap
berseteru dengan pemerintahan yang ia pimpin. Chavez tampil sebagai sosok yang
menasionalisasi aset-aset perusahaan minyak internasional yang beroperasi di
Venezuela. Bukan saja nasionalisasi, ia juga menurunkan angka ekspor hasil
minyak negaranya yang pada awal tahun 2000 mencapai tiga juta barrel per hari
menjadi tinggal 1,7 juta barrel per hari pada tahun 2011. Di sisi lain, ia
berani mengganti nama negaranya menjadi Republik Bolivarian Venezuela.
Nama
Hugo Chavez tidak kalah sering disebut sebagai sosok yang sering melakukan
manuver politik nasional maupun internasional. Presiden Venezuela ke-53 ini
adalah pimpinan “Revolusi Bolivarian” yang merupakan titik balik pembelaan kaum
miskin Venezuela dengan sistem sosialis yang kental. Meski dicap sebagai salah
satu pemimpin haluan kiri, Chavez dikenal bukan sebagai sosok yang memperkaya
diri dengan otoritas yang dimilikinya. Ia jauh dari karakter Husni Mubarak dari
Mesir, misalnya, meskipun tidak dapat dipungkiri berbagai kebijakan yang ia
hasilkan seringkali membuat pihak oposisi gigit jari. Upaya oposisi untuk
menurunkan Chavez dari jabatan presiden sudah berkali-kali dilakukan, mulai
dari referandum hingga kudeta. Namun tetap saja, suara rakyatlah yang pada
akhirnya pun selalu mengembalikan Chavez ke tahta.
Di
mancanegara, Chavez terkenal bukan hanya sebagai pemimpin yang mampu membawa
kemakmuran bagi negerinya, namun juga sosok yang kerap menimbulkan kontroversi.
Dimulai dari gebrakannya membentuk “Gerakan Republik Kelima” yang berisi
negara-negara penganut sistem sosialis demokratis—yang kemudian ia sebut
sebagai “Sosialisme Abad 21”. Venezuela banyak membantu negara-negara yang
memiliki garis sistem yang sama dengannya, sebut saja Kuba yang telah menerima
bantuan milyaran dollar AS selama pemerintahan Chavez. Negara lain di kawasan
Amerika Latin juga tidak lepas dari pengaruhnya. Bolivia menunjukkan penurunan
angka kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan semenjak Evo
Morales menjadi presiden di tahun 2006. Hal tersebut tidak lain adalah karena
Morales melakukan nasionalisasi perusahaan yang sama dengan yang dilakukan
Chavez. Dapat dikatakan, Chavez adalah mentor dan pendukung Morales di balik
kemajuan Bolivia. Ia membangun aliansi yang kuat bukan hanya dengan negara yang
secara eksplisit berpaham dan berkeyakinan sama, Iran misalnya. Belasan kali
sudah Chavez mengunjungi presiden Iran, Mahmoed Ahmadinejad, dan terhitung enam
kali pula presiden Iran mendatangi Venezuela untuk bertemu Chavez. Partner
Venezuela berdatangan bukan hanya dari kubu Amerika Latin seperti Kuba,
Argentina, Bolivia, dan Brazil, namun juga dari negara-negara muslim lain
seperti Suriah dan Libya. Negara-negara Eropa, katakanlah Inggris, Spanyol, Italia,
dan Portugal, dan blok sosialisme keras, Cina dan Rusia, pun termasuk ke dalam
kubu Chavez. Untuk penduduk miskin dunia, Chavez menjatahkan 8% dari APBN
Venezuela untuk segala investasi luar negeri, bantuan, maupun subsidi.
Begitupun saat tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004, Venezuela memberikan
bantuan senilai dua juta dollar AS. Petro Caribe adalah program pemerintah
Venezuela yang ia ciptakan untuk membantu pemenuhan kebutuhan minyak
negara-negara kecil di Karibia dengan jumlah 200.000 barrel per hari. Di sisi
lain, Chavez juga membentuk ALBA dan CELAC sebagai blok yang akan melakukan
pengentasan orang miskin sekaligus penolakan terhadap Amerika Serikat. Ia
menolak perjanjian-perjanjian perdagangan kapitalis dan privatisasi. Gerakan
Chavez yang terbilang berani inilah yang mampu membungkam negara adidaya
semacam Amerika Serikat.
Pasca Meninggalnya Chavez
Iring-iringan
sejauh delapan kilometer ditempuh warga Venezuela dengan berjalan kaki, tidak
lupa disertai isak tangis. Tidak, bukan tangis yang dibuat-buat seperti yang
terjadi di Korea Utara sepeninggalan pemimpinnya, tetapi tangis yang secara
alami mengalir dari mata rakyat yang kehilangan sosok pemimpin. Rakyat yang
kehilangan pemimpin yang berhasil mengambil hati mereka bukan hanya dengan
orasi, namun juga bernyanyi dan menari bersama. Tidak hanya di negeri sendiri,
dukacita dan belasungkawa mengalir dari berbagai belahan bumi—mulai dari
Vladimir Putin hingga Barack Obama. Jangan heran jika Argentina dan Kuba menetapkan
tanggal 5 Maret lalu sebagai hari berkabung nasional. Terlebih lagi, rakyat
Amerika Latin menganggap kematian Chavez akan membawa perubahan yang tidak
diinginkan di kawasan tersebut. Tepat sehari setelah meninggalnya Chavez,
Presiden Bolivia Evo Morales, Presiden Argentina Cristina Kirchner, dan
Presiden Uruguay Jose Mujica telah berada di Caracas, Venezuela. Meninggalnya
Hugo Chavez membuat kondisi politik di Venezuela jadi tidak menentu. Rakyat,
partai penguasa, maupun partai oposisi dibuat cemas akan proses transisi kekuasaan
yang mau tidak mau telah berada di depan mata. Belum sampai seminggu, tindak
kekerasan berbau politik sudah beberapa kali terjadi di Venezuela.
Ketidakpastian juga terjadi dalam geopolitik migas yang menyebabkan kenaikan
harga minyak dalam jangka pendek meskipun tidak begitu signifikan.
Meskipun
begitu, meninggalnya Chavez tidak serta merta menjadi kesedihan untuk semua
orang. Mereka yang sejak awal menaruh rasa tidak suka pada Chavez
terang-terangan mengatakan bahwa kepergian Chavez justru akan membawa angin
segar dalam perdagangan, terutama ekspor minyak yang menjadi komoditas utama
Venezuela. Kepergiannya juga dianggap sebagai babak baru yang dapat
meminimalisasi gerakan anti-AS di berbagai negara yang sebelumnya Chavez timbulkan.
Beberapa mengatakan bahwa meninggalnya Chavez dapat membawa suasana yang lebih
demokratis di Venezuela seiring penurunan pengawasan terhadap media dan
penegakan peradilan hukum yang tidak dapat terlaksana di masa Chavez berkuasa.
Adalah hal yang mungkin jika perusahaan-perusahaan asing kembali datang ke
Venezuela untuk mengambil alih lahan yang sebelumnya direbut “paksa”. Kaum
elite bisnis bisa jadi pihak yang digembirakan, Lorenzo Mendoza, misalnya.
Dialah orang terkaya kedua di Venezuela, pemilik perusahaan bir dan bahan
makanan yang kerap berseteru dengan Chavez. Pihak lain bisa jadi adalah orang
terkaya di seluruh Venezuela dengan kekayaan senilai US$ 4,4 milyar, Gustavo
Cisneros, yang stasiun tv miliknya dipaksa terus menawarkan konten hiburan selama
Chavez menjabat. Kini, Cisneros bisa saja mengembalikan Venevision—stasiun tv
terbesar dengan 67% pemirsa Venezuela—ke ranah politik. Berbagai kabar
bermunculan seiring bertambahnya pemberitaan mengenai kematian Chavez dan
pengusiran dua atase militer AS. Wakil presiden Venezuela, Nicolas Maduro,
mengatakan bahwa kematian Chavez adalah hasil konspirasi musuh yang sebelumnya
sudah dengan sengaja memasukkan virus kanker ke tubuh Chavez. Meski begitu,
belum ada bukti yang cukup untuk menindaklanjuti tuduhan tersebut.
Indonesia dan Venezuela
Kebangkitan
Venezuela dengan munculnya seorang figur memunculkan satu pertanyaan yang tidak
terbantahkan: Kapan giliran Indonesia? Haruskah kita menunggu, atau menciptakan
figur?
Revolusi
Bolivarian adalah momentum bagi rakyat Venezuela yang selama ratusan tahun
terperangkap dalam “kolonialisme”. Hugo Chavez datang dari kalangan bawah,
menggulingkan dominasi elite putih, dan berhasil membawa perubahan bagi
Venezuela. Terlepas dari sistem yang ia gunakan dalam pemerintahan, Chavez
berhasil mewujudkan apa yang menjadi jati diri bangsanya. Baginya, sosialisme
adalah cara yang paling tepat untuk memberantas endemik yang terlanjur menyebar
dalam tubuh negerinya. Ia berani bermanuver, melakukan gebrakan, dan menentang
Amerika Serikat. Semuanya berasal dari mimpi kecil yang berawal dari
kekagumannya akan seorang Simon Bolivar, dan ia menemukan bahwa tidak ada yang
tidak mungkin. Chavez tidak hanya membawa angin segar untuk rakyat Venezuela,
tetapi juga dunia. Ia membuktikan bahwa sosialis bukanlah komunis, dan
kapitalis tidak selalu modern dan benar. Ketika masyarakat miskin yang menjadi
fokusnya, ia tegakkan tubuhnya, luruskan pandangannya, tegapkan bahunya, siap
menjadi tempat mereka untuk bersandar. Barangkali ia berpikir, jika bukan
dirinya, siapa lagi? Adalah George Galloway, salah seorang anggota parlemen AS
yang tengah berada di Venezuela saat berlangsungnya pemilu presiden pada
Oktober 2012. Saat itu, ia tergabung dalam kubu oposisi yang menentang naiknya
kembali Chavez ke kursi kepresidenan. Berbulan-bulan setelah itu, ia memaki
seorang mahasiswa Oxford yang secara frontal mengatakan bahwa Chavez tidak lain
hanyalah seorang diktator. Rupanya, pengalamannya di Venezuela membawa Galloway
pada kesimpulan yang 180 derajat berlawanan dengan persepsi awalnya. “Chavez is the most democratic politician on
the earth,” ujarnya. Selamat tinggal, Hugo Chavez.
Indonesia
tidak membutuhkan seorang Hugo Chavez. Indonesia membutuhkan seseorang dengan semangat
yang sama. Tanpa kita sadari, perlahan-lahan, kapitalisme telah merasuki seluk
beluk kehidupan kita. Hasilnya? Distribusi pendapatan makin timpang,
kesejahteraan rakyat dinomorduakan. Dan anehnya, kita semua masih diam.
Indonesia tidak dibangun untuk wadah kapitalisme maupun sosialisme. Indonesia
dibangun dengan nilai dan cita-cita yang luhur, Pancasila. Sayangnya, konsep
Pancasila hingga abad ini hanya sampai kepada lima nilai yang wajib dihafalkan
sejak sekolah dasar. Jangankan diaplikasikan dalam sistem ekonomi ataupun
pemerintahan, apa yang disebut “pengamalan sehari-hari” saja masih terlupakan.
Pengaplikasian yang masih tabu itulah yang membuat kita harus mengakui,
nilai-nilai Pancasila, mau tidak mau, disengaja ataupun tidak, pasti akan
menjurus ke salah satu dari dua aliran ekstremis: kapitalis atau sosialis. Mana
yang terbaik untuk bangsa?
Tidak
ada yang salah dengan galau memikirkan nilai, kepanitiaan, atau pacar
sekalipun. Bukankah memang begitu normalnya anak muda? Namun, alangkah lebih
baiknya jika Anda menambah satu lagi alternatif bahan penggalauan: negara ini,
Indonesia.
Bangsa
ini sedang sekarat, kawan.